Rabu, 25 Februari 2009

Batik Asti Diambil dari Ashadi dan Tutik


BATIK ASTI yang beralamat di Pesindon III/5 A, mungkin sebagian masyarakat Pekalongan sudah mengenalnya. Namun, apa arti 'Asti' dan latar belakang hingga dinamakan Batik Asti. Mungkin internal keluarga dari produsen Batik Asti saja yang mengetahui.
Ketika pemilik Batik Asti, Tutik Susetiowaty dihubungi Radar, Selasa (23/9) mengatakan, Asti diambil dari nama suaminya Ashadi, dan dirinya. "Jadi, kalau Ashadi digabung dengan Tutik disingkat menjadi Asti," ucapnya tersenyum.
Usaha batiknya diberi nama Batik Asti, kata Bu Tutik-sapaan akrabnya, karena usaha memproduksi batik dirintis bersama-sama dengan suaminya. "Setelah saya nikah, saya bersama suami memproduksi batik sampai sekarang," kenangnya.
Namun mengenai seluk-beluk batik, Bu Tutik mengaku sudah mengenal sejak kecil. Itu karena orang tuanya adalah pengusaha batik juga. Sehingga batik, baginya bukan hal baru. Bahkan batik, bagi Tutik sudah 'mendarah daging'. Sebab dirinya dinafkahi dari usaha batik.
Bu Tutik mengakui, bila modal awal yang dipakai untuk memproduksi batik berasal dari bantuan orang tuanya. Dari sedikit demi sedikit, akhirnya menjadi besar seperti saat ini. "Alhamdulilah Mas (hingga usaha besar)," jawabnya.
Untuk menjadi yang sekarang ini, Bu Tutik mengaku tidak mudah. Meskipun orang tuanya adalah pengusaha batik, dan orang tua dari suami juga seorang pengusaha batik. Namun usaha yang dirintis bersama suaminya dikerjakan berdua. "Jadi susah senang kami lakukan bersama," ungkapnya.**'Dibabarkan' Orang Lain**
Bu Tutik menjelaskan, kalau awal-awal usaha batik, semuanya dikerjakan olehnya dan suami. Seiring dengan perjalanan waktu, kini untuk proses produksi batik dibabarkan (dikerjakan) orang lain. Namun untuk penjahitan menjadi baju batik ditangani sendiri. "Saya punya tukang menjahit. Jadi mereka yang menjahit."
Meski proses produksi batik dikerjakan orang lain, lanjut Bu Tutik, namun dirinya tidak bisa dibohongi mengenai kualitas kain batik. "Karena saya sejak kecil sudah berurusan dengan batik. Jadi memahami kualitas batik," ungkapnya.
Ditanya soal unggulan Batik Asti? Bu Tutik menyebut, bila unggulannya adalah hem batik. Kendati yang lain juga termasuk unggulan, seperti blus, dan selendang.
Soal harga? Bu Tutik menyebut, tergantung dari bahan yang dipakai, serta kerumitan dalam memproduksi batik. "Tentu kalau bahannya katun lebih murah bila dibandingkan dengan sutra. Kalau sutra lebih mahal," tukasnya.
Sedangkan mengenai pemasarannya? Bu Tutik mengaku menjual produk batiknya di Grosir Setono, Grosir Pantura, dan memasok produk di Semarang dan di Jakarta. "Selain menjual produk secara eceran di grosir, juga memasok produk batik di Semarang dan di Jakarta," tutur Bu Tutik mengakhiri pembicaraan. (Abdurrahman)

Konversi Gas Diundur, Pemkot Upayakan Mitan Lancar

Kelangkaan minyak tanah (mitan) yang terjadi beberapa waktu lalu di Kota Pekalongan tidak hanya meresahkan warga, namun juga menghambat produksi batik pada perajin batik baik dalam produksi skala besar maupun kecil.Meski kini pasokan mitan sudah berjalan normal, namun untuk mengantisipasi kelangkaan terulang kembali, Pemkot Pekalongan menghimbau kepada para perajin batik skala kecil agar mendaftarkan usahanya tersebut ke Kantor Dinas Perdagangan, Perindustrian dan Koperasi (Disperindakop) dengan tujuan untuk mendapatkan jatah mitan. Antisipasi ini menyusul beredarnya kabar jika konversi dari mitan ke gas akan diundur. Pernyataan ini diungkapkan oleh Wakil Wali Kota Pekalongan, H. Abu Almafachir, kemarin.Menurutnya, konversi gas yang akan dilakukan mulai Mei mendatang dirasa belum matang. Sebab hingga saat ini belum satupun SPBE yang didirikan. Sedangkan sosialisasi untuk konversi gas akan dilakukan Maret sampai April nanti. Almafachir mengungkapkan saat ini ada ribuan perajin batik skala kecil yang ada di Pekalongan. "Dari ribuan perajin batik, terhitung hanya 616 perajin saja yang baru terdaftar di Disperindakop," ujarnya.Lebih lanjut Almafachir mengatakan, himbauan ini dikhususkan bagi perajin batik yang usahanya tergolong kecil. "Kami fokus pada perajin batik kecil-kecilan," imbuhnya.Untuk itu Ia meminta kepada pihak Disperindakop agar menurunkan petugas ke perkampungan untuk mendata perajin batik dengan usaha skala kecil. (*)

Jumat, 20 Februari 2009

Kreasi Helm Batik


TAUFIK TAROJI, warga Banyurip Alit Kecamatan Pekalongan Selatan, tak kehabisan ide untuk
mengkreasikan motif batik dipadukan dengan helm. Setelah sekitar September tahun lalu, kenaikan harga kain mori melanda perajin batik di Kota
Pekalongan, pria yang sehari-hari pernah bekerja sebagai buruh batik ini merasa prihatin atas
kondisi tersebut. Pasalnya, melambungnya harga mori dipasaran membuat para pengrajin batik
terpaksa mengurangi produksi pembuatan batik. Bahkan ada bos batik yang merumahkan buruhnya.Asal muasal terciptanya helm batik ini bermula saat dirinya 'wedangan' di warung dekat rumahnya.
"Waktu itu saya bilang daripada nganggur nggak mbatik mendingan mbatik di helm saja. Sejak itu saya mulai mempraktekkannya," terangnya. Untuk memproduksi helm batik, Taroji membeli helm dengan kondisi BS dan kemudian helm-helm tersebut diamplas dan dilukis motif batik. Kini dalam satu hari Ia bisa menghasilkan dua buah karya helm batik yang Ia jual dengan harga tujuh puluh lima ribu rupiah per helm. "Terus terang untuk saat ini saya kekurangan modal dan selain itu saya juga kesulitan dalam memasarkannya." terangnya.Ia berharap ke depan akan ada bantuan dari pihak pemkot atas usaha helm batiknya tersebut. (*)

Minggu, 15 Februari 2009

Lestarikan Batik Dengan Pendidikan




PEKALONGAN – Hari Sabtu (14/2) bertempat di Museum Batik Pekalongan diselenggarakan pertemuan pembahasan mengenai Pendidikan dan Pelatihan (Best Practice) Budaya Batik. Acara yang mengundang seorang narasumber yang sekaligus pakar budaya batik, Gaura Mancacarita Dipura, ini dibuka dengan sambutan dari Wali Kota Pekalongan, dr HM Basyir Ahmad. Selain itu, acara yang dilaksanakan dalam rangka persiapan penyelenggaraan Pendidikan dan Pelatihan (Best Practice) Budaya Batik Bagi Anak-anak Sekolah ini juga mengundang Iman Sucipto Umar, selaku Ketua Umum yayasan Kadin Indonesia.Adapun susunan acara yakni dengan dua sesi diskusi dan dilanjutkan dengan presentasi mengenai konsep nominasi pendidikan dan pelatihan budaya batik oleh Gaura. Gaura mengatakan, sebagai negara yang telah meratifikasi Konfensi Perlindungan Warisan Budaya Tak Benda (Convention On The Saveguarding IntangibleCultural Heritage), Indonesia harus melakukan langkah-langkah penyelamatan warisan budaya diantaranya dengan pembuatan inventori.Dalam rangka pembuatan inventori, saat ini Departemen Budaya dan Pariwisata (Depbudpar) sedang mengupayakan untuk memasukkan batik sebagai produk karya budaya ke dalam Peta Kebudayaan Indonesia.Sedangkan acara yang berlangsung di Museum Batik Pekalongan Sabtu lalu ini merupakan sebuah upaya untuk melestarikan batik melalui jalur pendidikan. "Dengan adanya pelatihan bagi anak-anak sekolah maka diharapkan ada generasi-generasi baru yang muncul, dan apabila hal ini dilakukan setiap tahun maka kelestarian batik akan tetap terjaga," ucap Gaura.Selain seminar, dalam acara tersebut juga dilakukan semacam pengenalan dan pelatihan batik kepada para siswa sekolah. Diantaranya kepada siswa TK Masyithoh dan siswa SMP 1 Pekalongan. Tampaknya pengenalan batik kepada para siswa mendapat respons yang positif. Terlihat mereka sangat asyik melakukannya seperti menyolet dan ngeblok kain mori dengan malam.Salah satu siswa SMP 1 Pekalongan mengaku di sekolah mereka juga mendapatkan pelajaran keterampilan batik. “Pelajaran batik sebagai mulok,” ujar salah satu siswa yang saat itu sedang mengerjakan proses nyolet. Saat ini yang sedang direncanakan oleh bangsa Indonesia adalah mendirikan sekolah khusus batik. Hal tersebut bisa berbentuk akademi atau sebagai salah satu jurusan pada lembaga pendidikan tinggi yang telah ada seperti Institut Seni Indonesia. (*)

Batik Dinominasikan Ke Unesco


SEBAGAI ikon dari Kota Pekalongan, batik diibaratkan sebagai urat nadi perekonomian terpenting yang mampu menghidupi ribuan orang yang menggantungkan hidupnya dari sektor ini. Batik di Pekalongan telah ada dan dikerjakan secara tradisional turun temurun sejak ratusan tahun yang lalu. Hingga pada saat ini batik telah menjadi identitas kota Pekalongan, maka tak heran apabila orang menyebut Kota Pekalongan maka langsung terasosiasikan dengan batik.Saat ini batik telah dinominasikan ke UNESCO sebagai salah satu warisan budaya tak benda yang diakui dunia dan sedang dalam proses penilaian oleh 6 negara anggota Subsudiary Body UNESCO. Pada proses pengajuan batik sebagai nominasi di UNESCO, peranan Gaura Mancacarita Dipura, seorang pemerhati budaya asal Australia ini mempunyai peranan yang besar. Sebagai seorang WNI, kecintaan Gaura terhadap Indonesia dan budayanya tidak diragukan lagi, termasuk kecintaannya terhadap batik. “Indonesia berkewajiban melakukan langkah-langkah dengan cara penyelamatan warisan budaya tak benda diantaranya dengan kegiatan-kegiatan yang bersifat pendidikan,” terang Gaura saat dijumpai di Museum Batik Pekalongan Hari Sabtu (14/2).Menurut Gaura, untuk memasukkan batik ke UNESCO, ada empat tahap test yang harus dilalui.“Saat ini batik Indonesia telah berhasil melewati 2 tahap test dan lolos, untuk selanjutnya menunggu 2 tahap selanjutnya,” ujar Pria asal negeri kanguru ini. Untuk melestarikan dan mengembangkan seni kerajinan batik, Gaura menghimbau agar adanya semacam pelatihan-pelatihan bagi anak-anak sekolah.“Ini adalah sebuah langkah penyelamatan batik dan sebagai cara untuk menumbuhkan kecintaan batik di kalangan anak-anak Indonesia.” tutur Gaura menutup pembicaraan. (*)

Jumat, 13 Februari 2009

Batik Pekalongan, antara Masa Lampau dan Kini


BATIK pekalongan bukan hanya terkenal di dalam negeri, tetapi juga terkenal di mancanegara. Batik pekalongan sejak lama diekspor ke sejumlah negara, antara lain Singapura, Thailand, dan Amerika Serikat. Sedemikian terkenalnya batik dari Pekalongan, Jawa Tengah sehingga jenis batik ini tidak berhenti hanya menjadi hasil kegiatan ekonomi, tetapi juga telah menjadi ikon wisata.
BATIK pekalongan menjadi sangat khas karena bertopang sepenuhnya pada ratusan pengusaha kecil, bukan pada segelintir pengusaha bermodal besar. Sejak berpuluh tahun lampau hingga sekarang, sebagian besar proses produksi batik pekalongan dikerjakan di rumah-rumah.
Akibatnya, batik pekalongan menyatu erat dengan kehidupan masyarakat Pekalongan yang kini terbagi dalam dua wilayah administratif, yakni Kota Pekalongan dan Kabupaten Pekalongan, Jawa Tengah. Batik pekalongan adalah napas kehidupan sehari-sehari warga Pekalongan. Ia menghidupi dan dihidupi warga Pekalongan.
Meskipun demikian, sama dengan usaha kecil dan menengah lainnya di Indonesia, usaha batik pekalongan kini tengah menghadapi masa transisi. Perkembangan dunia yang semakin kompleks dan munculnya negara pesaing baru, seperti Vietnam, menantang industri batik pekalongan untuk segera mentransformasikan dirinya ke arah yang lebih modern.
Gagal melewati masa transisi ini, batik pekalongan mungkin hanya akan dikenang generasi mendatang lewat buku sejarah.
FATHIYAH A Kadir, seorang pengusaha batik di Kota Pekalongan, mengatakan, pada awal tahun 1970-an hampir seluruh pekerja di unit usaha batik pekalongan adalah petani. "Jadi, mereka tukang batik sekaligus petani," ujarnya.
Ketika itu, pola kerja tukang batik masih sangat dipengaruhi siklus pertanian. Saat berlangsung masa tanam atau masa panen padi, mereka sepenuhnya bekerja di sawah. Namun, di antara masa tanam dan masa panen, mereka bekerja sepenuhnya sebagai tukang batik.
"Suasana kerja sangat diwarnai semangat keguyuban, semangat kekeluargaan," ungkap perempuan pengusaha itu.
Sebagaimana halnya motif batik pekalongan yang secara kontinu berubah seiring perjalanan waktu, suasana keguyuban atau kekeluargaan juga dirasakan telah berubah. "Terutama setelah keluarnya Undang-Undang tentang Tenaga Kerja," ungkap Fathiyah.
Lewat UU tersebut, pengusaha yang memiliki pekerja dalam jumlah tertentu harus mengikutkan pekerjanya dalam program Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek). Selain itu, UU yang sama juga memberi kesempatan bagi pekerja untuk mendirikan serikat pekerja sebagai alat perjuangan kepentingan mereka.
Aturan ini dinilai sebagai bentuk intervensi pemerintah yang merugikan pengusaha batik. Alasannya, pengusaha terpaksa membayar iuran Jamsostek dan mengizinkan pekerja untuk mendirikan serikat pekerja.
Pandangan semacam itu, menurut Ketua III Paguyuban Batik Pekalongan Totok Parwoto, masih banyak ditemui di kalangan pengusaha batik pekalongan. "Mereka melihat iuran Jamsostek sebagai beban. Padahal, justru dengan ikut serta dalam program Jamsostek, pengusaha menjadi terbantu. Jika terjadi sesuatu pada diri pekerja, tunjangan bisa diambilkan dari Jamsostek," katanya.
Totok mengungkapkan, masih banyak pengusaha batik pekalongan yang mengeksploitasi pekerja. Produk batik yang dihasilkan mencapai harga jutaan rupiah, namun kesejahteraan pekerja jauh di bawah batas kewajaran.
"Suatu waktu saya akan mengajak Anda ke suatu tempat usaha batik di Kelurahan Buaran, Kota Pekalongan. Pemilik tempat itu sangat memforsir pekerja. Batiknya laku sampai jutaan rupiah, tetapi pekerjanya hanya makan nasi bungkus, yang menurut saya, kurang layak untuk disajikan," ujar Totok.
ZAMAN telah berubah. Pekerja batik di Pekalongan kini tidak lagi didominasi petani. Mereka kebanyakan berasal dari kalangan muda setempat yang ingin mencari nafkah. Hidup mereka mungkin sepenuhnya bergantung pada pekerjaan membatik.
Tuntutan pekerja terhadap kesejahteraan yang lebih terjamin dipandang pengusaha sebagai bentuk perubahan zaman yang merugikan mereka. Suasana kekeluargaan sudah tidak ada lagi, suasana keguyuban sudah pupus.
Pengusaha semakin merasa tersudutkan karena pemerintah ternyata melindungi pekerja untuk membuat serikat pekerja dan mengharuskan pengusaha untuk ikut program Jamsostek.
"Kondisi ini semakin susah karena penjualan batik pekalongan anjlok setelah ada serangan bom di New York pada bulan September 2001, bom di Bali pada bulan Oktober 2002, dan terakhir terbakarnya Pasar Tanah Abang," ujar seorang pengusaha yang keberatan dengan UU Tenaga Kerja yang terbaru.
Belum lagi batik pekalongan kini menghadapi persaingan berat di dunia internasional. "Produk tekstil dari Vietnam dan Banglades terus mendesak pangsa pasar batik pekalongan. Padahal, produk yang mereka hasilkan bukan batik. Ini dikarenakan orang luar negeri sesungguhnya tidak peduli apakah jenis tekstil yang mereka beli itu batik atau bukan," ujarnya.
Apa yang dihadapi industri batik pekalongan saat ini mungkin adalah sama dengan persoalan yang dihadapi industri lainnya di Indonesia, terutama yang berbasis pada pengusaha kecil dan menengah.
Persoalan itu, antara lain, berupa menurunnya daya saing yang ditunjukkan dengan harga jual produk yang lebih tinggi dibanding harga jual produk sejenis yang dihasilkan negara lain. Padahal, kualitas produk yang dihasikan negara pesaing lebih baik dibanding produk pengusaha Indonesia.
Penyebab persoalan ini bermacam-macam, mulai dari rendahnya produktivitas dan keterampilan pekerja, kurangnya inisiatif pengusaha untuk melakukan inovasi produk, hingga usangnya peralatan mesin pendukung proses produksi.
Kompetisi yang kian ketat mengondisikan usaha kecil menengah untuk memperbaiki kinerja, sekaligus memperbaiki kualitas produk yang mereka hasilkan. Paradigma lama kerap menuding tuntutan perbaikan kesejahteraan pekerja sebagai kambing hitam terjadinya pembengkakan produksi.
Paradigma ini mengabaikan kualitas pekerjaan yang baik atau kreativitas untuk menghasilkan inovasi produk keluar dari pekerja yang sejahtera dan pekerja yang melaksanakan tugasnya dengan tenang.
Untuk bertahan di tengah kompetisi yang semakin ketat, pengusaha batik pekalongan sudah seharusnya mengadopsi paradigma baru dalam mengelola usaha mereka. Sebagaimana tersirat pada pandangan yang disampaikan Totok.
"Kualitas produk sangat ditentukan oleh pekerja. Program yang menguntungkan pekerja, seperti Jamsostek, sangat membantu pemberdayaan pekerja," ujarnya.
Hanya bersandarkan pada keunggulan upah pekerja yang murah sudah harus ditinggalkan pengusaha Indonesia, termasuk pengusaha batik pekalongan. Bersandarkan pada keunggulan berupa keunikan produk tampaknya juga sudah harus ditinggalkan.
"Pesaing kita semakin berat. Bayangkan, saat saya berkunjung ke Bangkok, saya melihat ternyata Thailand kini juga mampu membuat batik yang jauh lebih bagus daripada yang kita hasilkan," ungkap Totok.
BAGI pengusaha batik pekalongan, memasuki tahun 2004 adalah memasuki masa yang penuh kesulitan. Permintaan batik pekalongan dari segala penjuru di Indonesia anjlok drastis. Berkodi-kodi batik menumpuk di tempat pengerjaan karena lesunya permintaan.
"Ketika krisis moneter tahun 1997, batik pekalongan terpukul akibat kenaikan harga kain mori. Namun, dampak kenaikan harga kain mori cukup bisa diimbangi dengan penjualan ekspor batik pekalongan yang menguntungkan karena anjloknya nilai tukar rupiah terhadap dollar AS. Kondisi ini berbeda dengan sekarang. Nilai tukar rupiah sudah relatif stabil, tetapi permintaan sangat lesu," kata Direktur Pasar Grosir Setono, Kota Pekalongan, Hasanuddin.
Sejumlah pedagang batik di pasar grosir menuding penyelenggaraan Pemilihan Umum (Pemilu) 2004 sebagai penyebab menurunnya omzet penjualan batik pekalongan hingga 50 persen. Argumennya, orang menunda perjalanan ke pekalongan karena menunggu hingga rampungnya kampanye Pemilu 2004.
Akan tetapi, bagi Hasanuddin, lesunya penjualan batik pekalongan terkait erat dengan penurunan daya beli masyarakat. Alasannya, jika penjualan batik pekalongan lesu hanya dikarenakan Pemilu 2004, tentu pesanan batik dari luar Pekalongan, seperti Makassar dan Surabaya, relatif tidak mengalami kelesuan karena orang tidak perlu melakukan perjalanan ke Pekalongan.
"Pengusaha batik yang dulu berorientasi menjual produknya ke luar kota sekarang beramai-ramai berjualan di Pekalongan. Ini ditandai dengan melonjaknya permintaan kios di pasar grosir," ujar Hasanuddin.
Akan tetapi, usaha itu tampaknya tetap tidak membantu. Bertumpuk-tumpuk batik tetap saja tak terjual di tempat produksi. Karena itu, dari sekitar 100 usaha batik di daerah Kelurahan Buaran, misalnya, sekitar 25 persen di antaranya sudah meliburkan pekerja. "Penjualan macet. Bagaimana mereka bisa melanjutkan produksi?" ungkap Hasanuddin.
Redupnya usaha batik pekalongan, menurut Hasanuddin, juga ditandai dengan kian banyaknya penyewa kios di Pasar Grosir Setono yang membayar ongkos sewa dengan cek kosong. Ini nyaris tidak pernah ditemui pada masa sebelumnya.
"Padahal, penyewa kios itu tergolong pengusaha besar dan nilai sewa yang harus dibayarkan cukup kecil, hanya Rp 1 juta-Rp 2 juta. Saya kira, dalam kondisi normal, tidak mungkin pengusaha yang tergolong cukup mapan melakukan hal tersebut," kata Hasanuddin lagi.
Akan tetapi, peka terhadap tuntutan pasar dan meresponsnya dalam bentuk inovasi dibuktikan pengusaha batik pekalongan, Rusdiyanto, yang berhasil menyelamatkan usahanya dari terpaan krisis. "Kalau saja saya tidak memulai memproduksi batik serat nanas tiga tahun lalu, usaha batik saya mungkin juga sudah meliburkan pekerja sekarang," kata pria yang tempat usahanya berada di Kelurahan Setono, Kota Pekalongan, tersebut.
Batik serat nanas yang diproduksi Rusdiyanto memang tidak terpengaruh oleh terpaan krisis. Harga kain batik pekalongan berserat nanas dengan ukuran panjang 2,56 meter dan lebar 1,15 meter bisa mencapai Rp 1,5 juta-Rp 3 juta. Karena itu, orang yang membeli jenis batik ini tentunya mereka dengan kondisi keuangan yang nyaris tidak terjamah gempuran krisis.
Bahkan, Rusdiyanto mengaku saat ini kesulitan untuk memenuhi order. "Batik serat nanas yang saya produksi tidak pernah menumpuk. Baru jadi, langsung dibawa pembeli ke Jakarta atau Singapura," ungkapnya.
Menurut Totok Parwoto, harga batik serat nanas di Jakarta naik berkali-kali lipat dibandingkan saat harganya masih di Pekalongan. "Kain batik serat nanas yang harganya di Pekalongan Rp 3 juta bisa mencapai Rp 7 juta di Jakarta," ungkapnya.
Batik serat nanas memiliki harga yang mahal karena suplai kain serat nanas masih sangat sedikit. Saat ini pengusaha batik serat nanas di Pekalongan hanya bergantung pada dua penyuplai kain serat nanas, yakni dari Kabupaten Pemalang dan dari Pabrik Radika di Pekalongan.
Sedikitnya produsen kain serat nanas disebabkan tingkat kesulitan yang cukup tinggi dalam proses pemintalan serat nanas menjadi benang, yang selanjutnya ditenun menjadi kain. Padahal, di Pemalang, terutama di Kecamatan Belik, tanaman nanas melimpah ruah.
Selain itu, harga kain batik serat nanas sangat mahal karena jenis batik ini dipadukan dengan serat sutra. Padahal, batik sutra sendiri sudah tergolong sebagai batik yang mahal. "Belum lagi pembuatan batik serat nanas dilakukan dengan tangan atau termasuk batik tulis. Satu bulan, satu pekerja saya hanya menghasilkan satu kain batik serat nanas," kata Rusdiyanto.
Inovasi yang dilakukan Rusdiyanto bukan hanya terbatas pada penggunaan serat nanas. Pengusaha batik ini juga melakukan inovasi pada motif batik. "Saya menggunakan motif batik pekalongan kuno," ujarnya.
Motif batik pekalongan kuno adalah motif yang dipakai saat pertama kali batik pekalongan muncul. Motif ini biasanya berbentuk tentara Belanda atau orang Belanda dengan segala atributnya. Bahkan, tidak jarang motif itu juga menggambarkan tank.
Warna yang digunakan Rusdiyanto juga warna saat batik pekalongan pertama kali muncul, yakni warna yang natural, seperti coklat atau merah bata. Berbeda dengan warna batik pekalongan sekarang, yang disebut orang dengan warna ngejreng. "Kain batik serat nanas dengan motif kuno dan warna alam ternyata sangat disukai pembeli dari luar negeri," katanya. (*)

Kamis, 12 Februari 2009

Gas Sebagai Alternatif Produksi Batik


KONVERSI mitan ke gas untuk digunakan dalam produksi batik rupanya sudah mulai dilakukan oleh sebagian perajin batik di Pekalongan. Seperti Jazuli Nur, salah satu perajin batik yang ada di Kelurahan Kauman. Ia mengaku sudah menggunakan kompor gas untuk produksi batik yang Ia kelola. "Untuk sementara masih dua buah kompor gas saja. Ini kan baru uji coba. Untuk alternatif kalau-kalau mitan sulit didapat lagi," terang jazuli saat dijumpai Radar di rumahnya.
Jazuli mengaku untuk berproduksi batik menggunakan kompor gas, Ia membutuhkan dana awal sebesar 400 ribu untuk satu buah kompor gas. Dengan perincian harga kompor 250 ribu, tabung dan gas 150 ribu. "Kami menggunakan tabung gas ukuran 3 kg dan untuk 1 tabung gas bisa digunakan sampai 4 hari. Dengan isi ulang gas Rp 13 500.Jadi biaya operasional per harinya Rp. 3500,- saja. Ini lebih murah dibandingkan menggunakan mitan yang untuk satu kompor menghabiskan 1.5 liter per harinya," lanjut Jazuli lagi. Namun walaupun menggunakan gas dinilai sudah lebih murah, Jazuli berharap konstruksi yang sedang dilakukan oleh mahasiswa ITB dengan merubah titik api kompor gas, bisa menjadikannya jauh lebih irit lagi. "Katanya sih nantinya tabung 3 kg bisa digunakan berproduksi sampai 10 hari, kalau hal itu benar-benar terjadi ya sepenuhnya saya beralih ke gas." Jazuli yang mempunyai 20 karyawan ini mengaku tidak mempermasalahkan harga mitan maupun gas. Ia hanya memikirkan jangan sampai para pekerjanya itu tidak bekerja karena kelangkaan mitan maupun gas. "Saya nggak pernah mikir harga, yang penting mereka bisa kerja. Terus terang sayang sangat mengutamakan karyawan saya, karena kalau mereka tidak kerja kan kasihan," ucap pria setengah baya ini.Terkait dengan musim hujan dan banjir yang melanda Pekalongan, hal itu diakui oleh Jazuli telah menurunkan omset batik hingga 50%. "Untuk order tetap stabil namun Omset menurun karena keterlambatan pengiriman batik. Produksi batik memakan waktu lama kalau hujan dan banjir seperti kemarin. Tapi alhamdulillah konsumen maklum dengan kondisi tersebut," jelas Jazuli. Menurut Jazuli, selama musim hujan dan banjir yang terjadi beberapa waktu lalu, produksi batiknya tak pernah berhenti. Ia memanfaatkan ruangan yang sangat luas untuk mengangin-anginkan batik. "Nggak pernah sampai mandeg. Kalaupun ruangan sudah penuh, karyawan saya tetap kerja walaupun hanya 1/2 hari." Usaha batik yang dikelola Jazuli dalam satu hari bisa memproduksi batik 500 meter dengan omset perbulan sekitar 10.000 meter. (*)

Rabu, 11 Februari 2009

Pelaku UKM Dilatih Manajemen Telecenter

HARUS diakui bila daya saing pelaku usaha Pekalongan, khususnya yang bergerak pada usaha kecil dan menengah (UKM) bisa dikata masih rendah bila dibandingkan dengan bangsa lain. Itu karena tidak mampunya mereka mengakses terhadap berbagai sumber daya produktif, termasuk informasi, pengetahuan dan teknologi.
Karena itu, Pemkot bekerjasama dengan Sekolah Tinggi Manajemen dan Informatika Komputer (STMIK) Widya Prathama, yang didukung penuh dari Departemen Komunikasi dan Informasi (Depkominfo), Depertemen Pemberdayaan Perempuan, Kementrian Riset dan Tekhnologi, dan BPPT menyelenggarakan pelatihan mengenai 'Managemen Telecenter' di kampus yang berada jalan Patriot tersebut.
Pelatihan tersebut, merupakan tindak lanjut dari ditandatanganinya perjanjian kerjasama oleh Walikota Pekalongan dr HM Basyir Ahmad, Ketua STMIK Widya Prathama Agus Wahyudi S Si MKom, serta dari BPPT.
Diantara pelaku UKM yang mengikuti acara tersebut, adalah perajin UKM, perajin ikan asin, pengusahaa ikan, perajin batik, serta pengurus Ormas. Mereka dilatih mengenai manajemen telecenter dari BPPT.
Direktur Pusat Pengembangan TIK BPPT, DR Tatang Wahyudi yang menyampaikan materi mengatakan, telecenter merupakan suatu tempat atau fasilitas yang dilengkapi dengan teknologi informasi, dan komunikasi yang umumnya digunakan untuk pemberdayaan komunitas. "Pembangunan telecenter tersebut, telah berdiri di banyak daerah seperti di Gorontalo. Dengan adanya telecenter, mayarakat miskin bisa mengakses informasi dari internet," ucapnya.
Dengan dibangunnya telecenter, beber Tatang , diharapkan bisa meningkatkan aksebilitas masyarakat terhadap sumber informasi, pengetahuan, dan teknologi serta sumber daya produktif lainnya. Bisa meningkatkan proses pembelajaran kontektual, mendorong kreativitas dan inovasi. "Serta menfasilitasi pengembangan jaringan kemitraan untuk memberikan peluang penting bagi masyarakat untuk berkembang," ungkapnya, sembari menambahkan juga mendukung promosi potensi keunggulan via internet.
Tatang Wahyudi menyebut, Telecenter memiliki peran dalam penyediaan informasi, mengembangkan komunikasi, membangun kapasitas komunitas, mengembangkan kemitraan, dan menfasilitas kegiatan komunitas masyarakat.
Sarana generik yang dibutuhkan untuk membangun telecenter, terang Tatang Wahyudi, berupa sarana dasar berupa komputer 5 unit, akses ke Internet, Peripheral seperti Printer, Scanner dan Jaringan. Serta saran pelatihan dan pertemuan, serta sarana penunjang. "Seperti Laptop, LCD Proyektor, Digital Camera, VCD, dan Web Cam," terang Tatang Wahyudi. (dur)

Batik dari Titik Menjadi Abadi



SIAPA yang tak kenal batik. Hampir semua orang mengenalnya. Kain ini memang populer di kalangan tertentu, dijadikan benda koleksi, dipuja, dan disimpan bak barang antik. Tak mengherankan untuk mendapatkannya, kolektor rela mengeluarkan dana tak terbatas hanya untuk selembar batik. ” Bukan nilai uangnya yang menjadi ukuran, tapi kepuasan jika berhasil memiliki,” ujar Thomas Sigar, kolektor batik yang juga seorang perancang busana.
SH/Gatot IrawanJenis batik Pekalongan berwarna cerah dan coraknya besar. Biasa dipakai sebagai pasangan untuk kebaya encin.
Kenapa kain itu disukai dan dijadikan koleksi? Menurut beberapa kolektor karena batik adalah barang seni. Batik ibarat sebuah lukisan, pembuatannya makan waktu, tidak pabrikan tapi satu persatu. Ini dianggap bernilai, terutama jenis batik kuno yang motifnya klasik. Batik klasik memiliki pola dasar tertentu dengan berbagai macam variasi motif flora dan fauna.Dulu sempat berkembang polemik soal arti kata batik berasal dari mana. Sampai sekarang pun mereka belum sepakat soal apa arti sebenarnya kata batik itu. Ada yang bilang bahwa sebutan batik berasal dari kata tik yang terdapat dalam kata titik. Titik berarti juga tetes. Memang dalam pembuatan kain batik dilakukan penetesan lilin di atas kain putih. Ada juga yang mencari asal kata batik dalam sumber tertulis kuno. Oleh mereka yang menelusuri dari data kuno itu dihubungkan dengan kata tulis atau lukis. Pendek kata, asal mula batik lalu dikaitkan pula dengan seni lukis dan gambar pada umumnya. Setuju atau tidak, batik tak terpengaruh. Kain khas ini sudah hadir selama berabad-abad.Bisa Punah Pada awalnya batik adalah pakaian raja-raja di Jawa di masa silam. Kemudian berkembang menjadi pakaian sehari-hari orang Jawa. Walau batik identik dengan pakaian adat Jawa, namun kini sudah menjadi pakaian nasional, bahkan cukup dikenal di mancanegara. Kepopuleran batik seakan pisau bermata dua. Di satu sisi menjadikannya komoditas yang bernilai, di sisi lainnya batik kuno bakal punah karena dibeli oleh orang asing.untuk koleksi. ” Sebenarnya itu ketakutan yang nggak beralasan,” ujar Thomas. Batik kuno memang harganya mahal. Ada yang jutaan rupiah sampai ratusan juta rupiah. Orang-orang asing itu, lanjutnya, punya apresiasi yang baik terhadap batik dan punya uang. Mereka tak hanya sekadar mengoleksi tapi juga belajar tentang batik. Berbeda dengan orang kita yang sekadar koleksi dan cenderung ikut-ikutan. Apa itu batik dan apa makna di dalamnya, kurang dipahami.Menurut Thomas, memang ada banyak juga warga Indonesia yang sangat mengerti batik. Mereka berusaha menyelamatkan dan melestarikan lewat perkumpulan atau upaya pribadi. Mereka ini saling bertukar informasi dengan berbagai kolektor, termasuk kolektor asing. ” Jadi saya nggak setuju kalau batik kuno bakal hilang. Mereka menyimpannya teliti dan sangat baik,” katanya. Motif LangkaThomas mengaku suka batik sejak lama. Sebagai perancang busana, dia mau tak mau akhirnya bersentuhan dengan kain itu. Koleksinya adalah batik-batik lawas tapi pilihan. Jumlahnya ratusan buah. Dia tak mau bicara soal nilai koleksinya, tapi dijamin semuanya berkualitas.Dari sekian banyak koleksinya, ada batik yang amat disukainya, yakni batik Van Zuylen. Thomas memiliki tiga batik buatan orang Indo Belanda itu. Dalam perkembangan perbatikan di Tanah Air, ada fase penjajahan Belanda. Dalam fase ini, batik lokal dipengaruhi oleh selera Eropa. Makanya dalam motif-motif batik yang ada dalam masa itu terdapat buket, kartu remi, meriam dan sebagainya yang berbau-bau Eropa.Koleksi Thomas lainnya adalah batik Cirebon yang bermotif mega mendung. Bagi penggemar batik, rasanya tak mungkin tak mengoleksi jenis batik pesisiran itu. Tapi yang ini, sambungnya, unik. Dasar kainnya hitam dengan motif mega mendung merah. Belum pernah Thomas melihat dasar kain batik Cirebonan berwarna hitam. Koleksi ini didapat seorang ibu yang dulu pernah bekerja pada Fatmawati Soekarno, presiden pertama RI.Untuk menghadirkan motif klasik yang langka, ada upaya dari penggemar batik Mereka membuat batik baru dengan motif-motif lama. Ini salah satu pelestarian motif sehingga tidak hilang. Tetapi dari segi mutu, berbeda karena proses yang dilakukan pada zaman dulu berbeda dengan masa kini. Sehingga bagi kolektor fanatik, jenis batik replika ini kurang digemari. Tetapi bagi pecinta batik lainnya, ketimbang tidak dapat yang asli yang replika pun boleh-boleh saja.
SH/Gatot IrawanEtty Tejalaksana, koleksi batiknya barulah 150 buah
Sulit MembedakanMembedakan yang asli dan replika bagi penggemar pemula, memang agak susah. Apalagi jika ia tak pernah melihat sebelumnya di literatur. Tapi bagi yang ahli, mudah membedakannya, jika memegangnya. Terutama dilihat dari tekstur kain dan tampilan warna. ” Yang replika biasanya lebih bagus dari aslinya,” sambung Thomas. Tapi bukan pula yang bagus itu selalu replika. Sebab banyak batik Belanda, begitu julukannya, disimpan secara apik oleh pemiliknya. Sehingga sampai kini pun warnanya tidak berubah, kainnya mirip kain baru. Mungkin karena sama sekali tidak pernah dipakai. Begitu pun jenis batik klasik lainnya yang tetap bagus kondisinya hinga kini. ” Penyimpanan dan perawatan menentukan keawetannya. Sebaiknya jika ingin mengoleksi batik kuno, kita harus rajin tanya. Atau membeli langsung dari pemilik atau pewarisnya,” saran Thomas.Etty Tejalaksana, penggemar baru, mengakui awalnya dia sering tertipu. Membedakan antara batik yang bagus dan tidak saja, sulit. Makanya sarannya jika seseorang ingin menekuni hobi batik, harus belajar. Ilmu batik tak hanya yang ada di buku-buku. Semakin sering terjun ke lapangan yakni mendatangi pembatik tradisional, berburu ke pelosok, bisa mengasah pengetahuan. Ibarat bayi, semakin sering jatuh maka semakin cepat berdiri.Ibu tiga anak itu mencontohkan batik Pekalongan yang diperlihatkan pada SH. Secara kasat mata, penampakannya sempurna. Warna-warnanya serasi, motifnya menarik, namun kalau diperhatikan ada warna yang tidak merata. ” Dalam proses pembuatan, mungkin perajin kurang cermat mencelupkanya saat pewarnaan. Jadi batiknya belang-belang tipis. Ini produk gagal, namun ada yang suka karena gradasi warnanya serasi,” tuturnya.Etty mengaku jumlah koleksinya baru sekitar 150 lembar, terdiri dari kain dan selendang. Maklum dia baru menyukai batik pada 1998 akhir. Ketika itu dia jatuh hati pada batik Hohokay. Dikatakannya, ini batik spesial yang dibuat pada masa penjajahan Jepang. Motifnya banyak dipengaruhi unsur Jepang. Seperti warnya yang condong kebiru-biruan dan kekuning-kuningan.Dari sinilah dia kemudian mulai mengoleksi satu demi satu. Pikirnya ketimbang kebarat-baratan, lebih baik melestarikan karya leluhur . (*)

Selasa, 10 Februari 2009

50 Pekerjanya Perempuan Semua




BATIK SEKAR WANGI. Inilah merk dagang milik H Kadarisman, warga Kelurahan Sapuro Kecamatan Pekalongan Barat yang spesialis membuat batik tulis dari bahan sutra. Yang unik dari usahanya itu, 50 orang pekerjanya berjenis kelamin perempuan semua.Kadarisman mengaku, sebelum membuat batik tulis dari bahan sutra. Dirinya membuat batik dari bahan katun. Kemudian bahan katun ditinggalkan, dan beralih ke bahan sutra sampai sekarang."Saya telah menekuni usaha batik sebelum 1981. Baru 1981, saya didaftarkan ke pemerintah untuk mendapatkan legalitas," ucap Alumnus Sekolah Tinggi Perbankan di Jakarta.Kadarisman mengaku, usahanya yang sekarang mengalami penurunan produksi dibanding tahun lalu. Saat rezim Soeharto, usahanya mengalami masa keemasan antara tahun 1996 sampai 1997. Karyawannya ada 130 orang. Namun sekarang 50 orang saja sebagai dampak krisis ekonomi, persoalan gejolak ekonomi yang ditandai dengan naiknya harga kedelai, terigu dan minyak goreng.Saat jaya-jayanya pula, pemasarannya tidak hanya lokal Indonesia saja. Melainkan diekspor ke luar negeri, yakni ke Malaysia dan Brunai Darussalam."Waktu itu ada 3 buyer yang mengekspor batik tulis saya ke luar neg eri. Namun kini sudah tidak lagi, bahkan satu diantara 3 perusahaan itu terpaksa dijual karena gulung tikar," ucapnya sembari menyebut saat jaya-jayanya, setiap bulan mengirim 600 potong batik tulis. Namun sekarang batik sutranya dijual ke lokal saja di Jakarta, Palembang, dan Bandung. Untuk pemasarannya, kata Kadarisman, ditangani sendiri. Begitupula produksinya. Ia sekarang mempekerjakan 50 orang saja. Yang unik, dari 50 pekerjanya itu perempuan semua. "Perempuan itu mempunyai jiwa halus. Berbeda dengan laki-laki yang biasanya muncul sikap kasar. Meski begitu, ada juga laki-laki yang memiliki jiwa halus, seperti Iwan Tirta dan desainer yang lainnya," ucap penerima Upakarti dari Presiden Soeharto karena keberhasilannya melakukan pembinaan kepada usaha kecil.Pekerja yang semuanya perempuan, lanjut Kadarisman, tidak hanya dilakukan dirinya. Saat ibunya masih hidup, juga mempekerjakan batiknya pada pekerja perempuan. "Sekarang menurun pada saya. Mulai dari pembatik, ngelorot sampai yang memberikan warna, semuanya ditangani pekerja perempuan," akuinya yang juga pernah menerima Upa Pradana dari Gubernur Jateng Ismail. Disinggung tentang strategi dalam mempertahankan usahanya? Kadarisman mengaku, selalu berinovasi dalam menciptakan motif-motif. Dalam menggali inspirasi, ia memanfaatkan media yang ada. Hasilnya motif yang dihasilkan selalu berbeda, sesuai dengan perkembangan mode.Disamping itu, Ia tetap mempertahankan warna batik, yakni warna marun (merah hati). Warna marun itu merupakan ciri khas Batik Sekar Wangi.Kadarisman menjelaskan, nama Sekar Wangi diilhami dari adanya merk batik 'Arum Dalu' yang artinya wangi bila malam hari. Batik Arum Dalu tidak lama bertahan, dan akhirnya gulung tikar. Dengan nama Sekar Wangi yang artinya mewangi sepanjang hari diharapkan batiknya tetap lancar, dan tidak mengalami hambatan pemasaran, dan bahan baku. "Alhamdulilah sampai sekarang masih lancar," pungkas Kadarisman. (dur)

75 Perajin Batik Tak Produksi


PABEAN - Akibat banjir, sekitar 75 perajin batik di kelurahan Pabean Pekalongan Utara tidak melakukan produksi batik. Demikian diungkapkan oleh H Nasir, ketua paguyuban batik Pabean, Selasa (10/2). "Cuaca memang cukup cerah. Tapi aktivitas mereka (perajin-red) belum pulih benar," katnaya. Belum pulihnya aktivitas produksi batik di Pabean. Karena masing-masing pekerja masih sibuk membersihkan rumahnya dari genangan air. Dalam pantuan Radar, sebagian tempat produksi pembatikan masih tergenang. Bahkan ada yang airnya setinggi lutut orang dewasa.Nur, salah seorang perajin batik mengungkapkan, dirinya lebih memilih menjemur pakaian yang belum kering dari pada melakukan produksi batik. "Cuacanya nanggung mas. Nanti sore juga hujan lagi. Mendingan jemur pakaian," tutur perajin batik yang memiliki 20 orang karyawan ini.Bisa dibayangkan berapa rupiah yang 'mandeg' karena tidak ada proses produksi. Tak hanya berdampak pada sektor ekonomi, banjir juga mempengaruhi aspek sosial, yakni bertambahnya jumlah pengangguran. Karena ratusan buruh batik terpaksa nganggur. (*)

Senin, 09 Februari 2009

Kembangkan Canting Antik


KALAU ingin mendapatkan canting atau cap yang antik, mungkin di Muhsinin warga Kelurahan Landungsari nomor rumah 37-tempatnya. Karena Ia sejak 2005 tetap konsisten mengembangkan kerajinan membuat canting antik.
Muhsinin mengaku mendapat keahlian membuat canting yang antik dari ayahnya, Abdul Halim. sedangkan ayahnya mendapat pengatahuan dari ayahnya (kakek Muhsinin). "Dulunya itu saya membantu ayah. Karena sebagai anak itukan harus patuh, dan mau membantu orang tua bila ada pekerjaan," ucapnya.
Dari awalnya membantu orang tua itu, lanjut Inin, tumbuh kecintaan pada kerajinan membuat canting. Sehingga keinginnya memuncak, dan tepatnya tahun 2005 membuat usaha sendiri. Meskipun sampai sekarang masih saja 'dompleng' usaha bapaknya membuat kerajinan canting. "Mulai tahun 2005, itu saya total menekuni usaha membuat canting," tandasnya.
Dalam memulainya usahanya itu, Inin datang ke pengusaha batik satu ke pengusaha batik yang lain untuk menawarkan jasa pembuatan canting. Hingga kerja kerasnya membuahkan hasil dengan menerima pesanan membuat canting, sebanyak 4 unit."Ketika menerima pesanan canting, saya nekad. Artinya, meski kemampuan keahlian yang saya miliki tidak sekaliber Bapak. Namun dalam pembuatan pesanan Saya sering minta diajari Bapak. Alhamdulilah pesanan pertama berhasil bagus," ucapnya.
Setelah pesanan perdana berhasil, kemudian pelan tapi pasti. Pesanan datang, meski tidak banyak. Bila dirata-rata semingu sekali ada pesanan, baik datang dari Pekalongan maupun dari Jakarta."Seperti sekarang jumlah pesanan meningkat. Karena usaha batik sekarang mulai membaik. Kalau batik ramai, kami juga ikut ramai."
Inin menyebut, bahan baku yang digunakan untuk membuat canting dari lempengan tembaga, dan lempengan besi. Tembaga diperoleh dari Tegal, harganya Rp 70 Ribu perkilogram. Sedangkan lempengan besi-juga diperoleh dari Tegal harganya Rp 6 Ribu. "Kini rencananya harga akan naik," ucap pria yang hanya lulusan SMU saja.
Mengenai bahan baku, Inin mengaku tidak ada kesulitan. Hanya saja ketika krisis ekonomi tahun 1996/1997, sempat terjadi kelangkaan bahan baku. Itu terjadi karena perilaku oknum pedagang yang cenderung menyembunyikan barang, kemudian menaikan harga lempeng tembaga.
Inin mengatakan, untuk membuat kerajinan canting membutuhkan ketekunan, ketelitian dan kesabaran. Karena untuk membuat satu unit canting saja kadang membutuhkan waktu yang sulit ditebak kapan selesainya. Namun pengrajin yang serius, membutuhkan waktu 10 hari saja.
Mengenai harga canting? Inin menyebut sangat tergantung dari rumitnya motif, serta ukurannya. Semakin rumit seperti motif sekarjagad, dan ukurannya besar maka semakin mahal. Begitupula sebaliknya. "Kalau terendah Rp 75 Ribu, sedangkan termahal Rp 700 Ribu," ucapnya yang mengaku menerima segala macam motif. (dur)

Kamis, 05 Februari 2009

Jangan Salah Memilih Batik


DIAKUI atau tidak, selama ini orang masih mengenal batik dari sisi motif atau design saja. Padahal batik merupakan sebuah proses dari sebuah kain putih yang ditulis melalui 'niba' (malam/lilin ) mengikuti pola gambar dengan cara menulis ('nitik' istilah bahasa jawa ), atau dengan cara mengecap (memakai canting cap)."Masyarakat pengguna batik mulai sekarang perlu lebih cermat dan teliti dalam memilih batik. Karena batik itu sebuah proses dari sebuah kain putih yang ditulis melalui malam, atau mengecap," ucap Khusnul Khotimah, pemilik Rafli Fashion yang tinggal di Kelurahan Banyurip Ageng, Rt 02 Rw 05 Pekalongan Selatan.Kalau demikian, kata Mbak Khusnul-sapaan akrabnya, apakah semua batik yang beredar dipasaran dengan suguhan design dan corak warna warni dapat semua dikatakan batik. Apalagi banyak orang mengatakan ada batik China masuk Indonesia."Pertanyaannya apakah batik yang dibuat orang China patut disebut batik. Geli? rasanya bila mendengar demikian karena orang China kok rasa-rasanya tidak mampu membuat batik, kalau orang China membuat kain yang disablon menyerupai dengan design batik, ?baru ya," ungkapnya.Istilah gampangnya, lanjut Mbak Khusnul, batik buatan China itu sama saja kain tekstil yang dibuat mirip design batik yang asli melalui teknik sablon (printing). "Karena kesalahfahaman masyarakat dalam menafsirkan batik itu sendiri menjadi salah kaprah tanpa mengetahui asal usul proses pembuatan batik," beber Mbak Khusnul.Karenanya teknik printing ungkapan para pembatik perlu ditegaskan kembali kepada masyarakat awam. Karena perjalanan proses batik, banyak masyarakat yang belum tahu jika digambarkan bahwa printing itu sama saja sablon baru masyarakat awam akan lebih tahu."Teknik sablon bahan dasar untuk membuat design dengan memakai tinta berbeda batik yang asli memakai lilin. Jadi Batik sablon bisa disebut batik ASPAL ( asli tapi palsu ) jika ditinjau dari prosesnya, karena batik yang asli bahan dasar untuk menulis design adalah lilin yang ditorehkan pada kain," Mbak Khusnul."Nah, bagaimana jika halnya kita ditawari sebuah kain batik oleh pedagang ditoko maupun dipasar. Tanyakan kepadanya, ?batik asli atau batik sablon."Mbak Khusnul menjelaskan, batik yang asli ada istilah batik cap ( stempel ) dan batik tulis yang menggunakan alat canting untuk melekatkan niba ( malam / lilin ) pada kain dengan mengikuti pola gambar. "Fungsi daripada malam atau lilin itu sendiri untuk menutup pola gambar yang diinginkan masih tetap utuh apabila dicelupkan obat pewarna.Keunggulan batik yang asli dengan batik sablon, kata Mbak Khusnul, tentunya sangat jauh berbeda. Jika batik asli permukaan kain dibalak balik sama karena teknik pewarnaannya dengan pencelupan. Sedangkan jika batik sablon permukaan kain bolak-baliknya tidak sama terkesan yang satu bergambar permukaan baliknya polos. "Karena teknik batik sablon pewarnaannya dengan cara menorehkan obat pewarna atau tinta dipermukaan kain saja tidak dicelup. Inilah yang menjadikan batik sablon itu cepat luntur karena warna hanya menempel dipermukaan saja tidak meresap keseluruh sel-sel kain," terang Mbak Khusnul.Sehingga wajar jika batik yang asli harganya lebih mahal dibanding dengan batik sablon ditinjau dari prosesnya batik yang asli melalui berbagai tahapan proses jika batik sablon dengan cara bim salabim maka jadilah batik sablon. (dur)

Cepagan Cikal Bakal Tumbuhnya Sentra Kerajinan di Batang


SELAIN Desa Pakumbulan Kec Buaran Kab Pekalongan yang dikenal sebagai sentra hadycraft. Ternyata di Desa Cepagan Kec Warungasem Kab Batang juga ada aktivitas pembuatan kerajinan tangan seperti mambuat plismate, dan Sajadah Akar Wangi.
Hal tersebut bisa menjadi cikal bakal tumbuhnya sentra kerajinan di Batang. Apalagi bila pemerintah daerah setempat memiliki kepedulian untuk mengangkat handicraft hasil warganya. Tentunya akan mendongkrak pamor Desa Cepagan.
Salah satu yang menekuni usaha handicraf, adalah Rozi. Bapak satu anak ini menekuni handycraft sejak lama. Awalnya Ia mengaku mengikuti trend masyarakat sekitarnya yang membuat kerudung ATBM."Saat itu, sekitar tahun 1990-an, kerudung ATBM lagi jaya-jayanya. Permintaan dari Bali sangat banyak, bahkan warga sini sempat tak menyanggupi pesanan kerudung karena banyaknya pesanan," ucap Rozi yang ditemui di rumahnya.
Namun kejayaaan itu tidak berlangsung lama seiring terjadinya krisis ekonomi tahun 1997. Permintaan menurun, sampai kondisi sekarang. "Permintaan ada. Tapi tak seramai dulu," ungkapnya.
Mengisi kekosongan karena menurunnya permintaan, Rozi mengisinya dengan menerima pesanan mengerjakan pesanan sajadah akar wangi, serta plismate. Ia menerima pesanan dari Pengusaha Eksportir Pekalongan yang selalu melakukan transaksi ke luar negeri. "Oleh agen diekspor ke Timur Tengah. Sebut saja Turki, Mesir, dan Dubai," tandasnya.
Biasanya Eksportir Pekalongan itu, beber Rozi, ketika menerima order dari luar negeri dengan jumlah banyak. Sehingga untuk mengerjakannya dibagi ke beberapa pengrajin, baik pengrajin yang berada di Pakumbulan, dan Cepagan. "Saya biasanya kebagian 1000 unit sajadah akar wangi," bebernya.
Rozi mengaku tak kesulitan mendapatkan bahan baku, baik akar wangi maupun benang. Sebab ada pemasok bahan baku. Yang menjadi hambatan adalah terbatasnya modal yang dimiliki. Serta tekanan harga dari Eksportir Pekalongan.
"Kalau Saya minta harga cukup tinggi ditolak. Karena yang mengerjakan pesanan...sekarang sudah banyak. Makanya para perajin handycraft itu tak memiliki bergaining. Kita selalu kalah kalau dibenturan harga," keluhnya.
Sehingga yang terjadi, para perajin handicraft menyanggupinya walaupun berat. Sebab keuntungan yang diperoleh sangat kecil. Serta memikirkan agar pekerjanya tidak menganggur, karena tidak ada pekerjaan. "Kalaupun keuntungan kecil, kita terima asal buruh tetap bekerja," akuinya.
Selain itu, yang dikeluhkan lagi. Perajin handicraf akar wangi kesulitan untuk menjemur karena sering hujan. "Kalau akar wanginya basah. Maka tidak bisa ditenun. Akibatnya pekerja terancam menganggur," keluhnya lagi. (dur)

Selasa, 03 Februari 2009

Spesialisasi Batik Perempuan


UNTUK urusan memproduksi kain batik, 'juragan' memang banyak membantu. Selain bekerja untuk mendapatkan upah, sembari belajar mengenai membuat batik dan belajar manajemennya. Seperti Sukron, Warga Desa Karangjompo Kec Tirto Kab Pekalongan misalnya. Berawal dari keterlibatannya sebagai buruh di sebuah home industri batik di desanya, diapun lantas tahu lika-liku memproduksi batik."Cukup lama saya menjadi buruh batik," ucapnya kepada Radar.
Setelah dirasa cukup memadai pengetahuannya mengenai teknik membuat batik, Sukron nekad membuka usaha sendiri dengan menerima jasa pembuatan batik. Kebetulan lagi, saudara-saudaranya adalah perajin batik, maka keberaniannya untuk menentukan jalur membuka jasa pembuatan batik sebagai gantungan hidupnya, semakin mendesak pikirannya untuk berani mandiri. Kemudian dibukalah home industri di rumahnya Desa Karangjompo. Produksi batiknya khusus berupa batik tulis, khusus untuk baju perempuan.
Meski usaha yang digelutinya itu baru beberapa bulan berjalan, namun usahanya lancar karena sering menerima order. Namun, Sukron tidak berani banyak menerima order besar-besaran, karena harga obat-obatan batik sangat tergantung situasi politik dalam dan luar negeri. "Seperti sekarang ini, ada rencana kenaikan harga obat batik. Sangat dimungkinkan ada kenaikan harga obat batik," jelasnya.
Karenanya saat ini usahanya cukup ditangani sekitar 10 karyawan tetap. Dirinya tidak berani mempekerjakan banyak karyawan, karena sangat berisiko. "Saya khawatir kalau kemudian akhirnya melakukan PHK (Pemutusan Hubungan Kerja)," ungkapnya.
Sampai saat ini kemampuan produksi Sukron baru sekitar 500 pcs perbulan, dengan omzet antara Rp 5 – 25 juta per bulannya. "Untuk permodalannya masih mengadalkan dari kocek sendiri," jawabnya.
Sukron menyebut, ongkos produksi di home industrinya tergantung dari banyaknya motif yang diinginkan, serta kerumitan motif batik. "Bisa mencapai 200 Ribu per kodinya," sebutnya.
Sementara itu, Nabil Diab, Pecinta Batik Pekalongan mengatakan, batik adalah kerajinan yang memiliki nilai seni tinggi dan telah menjadi bagian dari budaya Indonesia (khususnya Jawa) sejak lama.
"Perempuan-perempuan Jawa di masa lampau menjadikan keterampilan mereka dalam membatik sebagai mata pencaharian, sehingga di masa lalu pekerjaan membatik adalah pekerjaan eksklusif perempuan sampai ditemukannya 'Batik Cap' yang memungkinkan masuknya laki-laki ke dalam bidang ini," ucapnya.
Ada beberapa pengecualian bagi fenomena ini, yaitu batik pesisir yang memiliki garis maskulin seperti yang bisa dilihat pada corak 'Mega Mendung', dimana di beberapa daerah pesisir pekerjaan membatik adalah lazim bagi kaum lelaki.
"Ragam corak dan warna Batik dipengaruhi oleh berbagai pengaruh asing. Awalnya, batik memiliki ragam corak dan warna yang terbatas, dan beberapa corak hanya boleh dipakai oleh kalangan tertentu. Namun batik pesisir menyerap berbagai pengaruh luar, seperti para pedagang asing dan juga pada akhirnya, para penjajah," sebutnya.
Adik Walikota Pekalongan itu menyatakan, warna-warna cerah seperti merah dipopulerkan oleh orang Tionghoa, yang juga mempopulerkan corak phoenix. Bangsa penjajah Eropa juga mengambil minat kepada batik, dan hasilnya adalah corak bebungaan yang sebelumnya tidak dikenal (seperti bunga tulip) dan juga benda-benda yang dibawa oleh penjajah (gedung atau kereta kuda), termasuk juga warna-warna kesukaan mereka seperti warna biru.
"Batik tradisonal tetap mempertahankan coraknya, dan masih dipakai dalam upacara-upacara adat, karena biasanya masing-masing corak memiliki perlambangan masing-masing."
Teknik membatik, kata Nabil Diab, telah dikenal sejak ribuan tahun yang silam. Tidak ada keterangan sejarah yang cukup jelas tentang asal usul batik. Ada yang menduga teknik ini berasal dari bangsa Sumeria, kemudian dikembangkan di Jawa setelah dibawa oleh para pedagang India. Saat ini batik bisa ditemukan di banyak negara seperti Indonesia, Malaysia, Thailand, India, Sri Lanka, dan Iran. "Selain di Asia, batik juga sangat populer di beberapa negara di benua Afrika. Walaupun demikian, batik yang sangat terkenal di dunia adalah batik yang berasal dari Indonesia, terutama dari Jawa," ungkapnya.
Tradisi membatik pada mulanya merupakan tradisi yang turun temurun, sehingga kadang kala suatu motif dapat dikenali berasal dari batik keluarga tertentu. Beberapa motif batik dapat menunjukkan status seseorang. Bahkan sampai saat ini, beberapa motif batik tadisional hanya dipakai oleh keluarga keraton Yogyakarta dan Surakarta.
"Batik merupakan warisan nenek moyang Indonesia (Jawa) yang sampai saat ini masih ada. Batik juga pertama kali diperkenalkan kepada dunia oleh Presiden Soeharto, yang pada waktu itu memakai batik pada Konferensi PBB," pungkas Nabil Diab. (dur)

Pasar Inginkan Produk Bersih

KECENDRUNGAN pasar batik sekarang menginginkan produk bersih. Maksudnya produk yang sedikit sekali menimbulkan limbah. Karena itu, perlunya menerapkan eko efisiensi dalam memproduksi batik.
Demikian disampaikan Sekretaris Fedep Kota Pekalongan Ir Rofiqurrusdi. "Dengan menerapkan eko efisiensi, kita bisa menghemat biaya, serta bisa mengurangi dampak negatif lingkungan dan sosial. Sehingga memperbanyak keuntungan," ucapnya.
Eko efisiensi, lanjut Rofiqurrusdi, merupakan strategi bisnis dalam meningkatkan efisiensi & produktivitas, daya saing serta keuntungan di berbagai jenis sektor industri, dan sekaligus pemenuhan atas adanya persyaratan lingkungan yang sedang menjadi topik penting dewasa ini yaituproduk yang ramah lingkungan, produk-produk ber-ekolabel. "Mengingat sampah kota dan limbah industri sudah menjadi masalah yang kronis," ungkapnya.BAHAN KIMIA HARUS DIKENDALIKANBambang Purnomo Sidi, konsultan dari GTZ (Deutsche Geselschaft fur Technise Zusammernarbeit GmbH-German Technical Cooperation) dalam diskusi mengenai Eko-Efisiensi Batik yang difasilitasi FEDEP Pekalongan di Jenggot, kemarin mengatakan, menggunakan bahan kimia untuk proses pewarnaan kain batik, bila tidak dilakukan pengendalian secara ketat. Akibatnya luka, penyakit, bahkan membunuh.
"Bahan kimia dapat meningkatkan mutu hidup, tetapi juga dapat menyebabkan luka, penyakit, bahkan bisa membunuh," ucapnya.
Selain itu, bahan kimia dapat menyebabkan kebakaran atau ledakan. Karena itu sifat-sifat bahan kimia yang digunakan harus diketahui agar dapat dikelola dengan baik. Mengingat, setiap bahan kimia mesti dilengkapi dengan lembar data keselamatan bahan. "Pengendalian bahan kimia sangat diperlukan. Maksudnya penggunaan bahan kimia harus sesuai aturan," beber Bambang Purnomo.
Dengan pengendalian bahan kimia secara ketat akan memberikan manfaat secara optimal. Serta bisa meminimalisir efek samping yang merugikan, dan bisa mengurangi bahaya dari suatu bahan kimia tertentu.
Diantara contoh bahan kimia berbahaya, sebut Bambang Purnomosidi, Zat warna dengan sifat partikel (debu) dan sifat karsinogenik (zw Napthol). Ditambah bahan kimia B3:NaOH, H2SO4, cH3COOH, H2O2, Sodium hipoklorit."Kemungkinan bahan kimia masuk ke tubuh dengan cara dihisap, karena bahan kimia bisa berubah menjadi gas, uap, atau partikel halus kemudian masuk ke paru-paru," ungkapnya.
Bisa dengan cara gas, cairan atau padatan bahan kimia terserap dengan kulit. Dan bisa, bahan kimia tertelan ke dalam mulut. Karena kebersihan diri kurang baik.
Kalau masuk ke dalam tumbuh yang mungkin timbul, diantaranya iritasi kulit, mata dan saluran pernapasan, keracunan terhadap sistem organ tubuh, gangguan terhadap janin, dan merusak genetik generasi. "Karena itu hindarilah penggunaan bahan kimia berbahaya. Gunakan bahan kimia yang aman," saran Bambang Purnomosidi.
Kalau harus menggunakan bahan kimia berbahaya, pencegahannya beri jarak antara bahan kimia dengan pekerja. Caranya gunakan alat proses yang tertutup, batasi jumlah bahan kimia di tempat kerja, serta simpan bahan kimia berbahaya dengan aman. "Gunakan ventilasi dan gunakan aat pelindung diri," tambahnya.
Lebih lanjut, Bambang Purnomosidi menyarankan, agar penggunaan bahan kimia untuk proses pewarnaan disesuikan dengan takaran, dan kebutuhan kain mori yang akan diberi warna. Sehingga sisa larutan warna yang dibuang nihil, atau sedikit. "Dengan begitu menghemat biaya, serta bisa mengurangi dampak negatif lingkungan dan sosial. Sehingga memperbanyak keuntungan," pungkasnya. (dur)

Batik Diminati Artis

BATIK, satu dari sekian banyak kekayaan budaya Indonesia. Dulu orang mengenal batik sebagai barang kuno, dan kebanyakan digunakan sebagai kain gendongan oleh ibu-ibu atau bahkan nenek kita. Jarang sekali kaum muda yang mengenakan batik. Bahkan batik hanya digunakan untuk acara-acara resmi atau acara tertentu saja.
Tapi kini, anda juga mungkin merasakan dan melihat secara langsung, batik digunakan oleh banyak kalangan. Seolah olah batik sedang berada dipuncak kejayaannya. Orang berlomba-lomba mengenakan batik, pria, wanita, tua, muda. Tidak hanya masyarakat biasa, batik juga sudah merambah kekalangan artis.
Seperti Nadine Candra Winata, yang mendatangi stand batik milik Haris Riyadi saat pameran di Jakarta beberapa waktu lalu. Dikatakan Haris, Mantan Puteri Indonesia itu mengaku kagum dengan busana artistik hasil karyanya. Bahkan mantan Puteri Indonesia itu, melakukan pemesanan agar warna dan ukurannya sesuai.
"Tidak hanya Nadine Candra Winata. Artis lainnya, bahkan memberitahukan akan datang untuk memesan langsung produk terbaru itu di rumah produksi kami," ucapnya.
Karya terbaru seniman yang pernah mengenyam pendidikan di akademi seni rupa, Yogyakarta itu memang lagi meledak di pasaran artis, setelah hasil inovasi sebelumnya batik kantong semen.Haris mengaku, sejak membuat jin batik dan mengikutsertakan dalam kegiatan pameran di Jakarta, artis-artis top langsung menyerbu stand yang dibuka. "Setiap saya pameran, artis-artis selalu datang dan menanyakan produk terbaru, karena mereka sudah mengenal saya sejak karya batik kantong semen dipamerkan," katanya.
"Jadi artis-artis sebelumnya telah kontak dulu dengan saya memesan warna dan ukuran. Kemudian mengambil ketika saya pameran di Jakarta. Ada juga yang datang langsung ke Pekalongan," tandas dia.
Seperti sekarang ini artis dan bintang iklan Elma Theana juga telah melakukan kontak akan datang ke griya batik Haris Riyadi di Perum Limas Indah, Krapyak, Pekalongan Utara. Dia juga ingin mendapatkan jin seperti artis-artis lainnya.
"Elma sudah kontak saya akan datang untuk melakukan pemesanan jin batik. Sebab saya tidak produksi banyak setiap produk yang saya ciptakan. Karena saya bukan pengusaha, melainkan seniman dan selalu ingin membuat karya-karya baru," ungkap Haris.
Dijelaskan harga jin tersebut memang untuk kalangan menengah atas seperti artis dan pecinta mode lainnya. Sebab ditawarkan dengan harga minimal mulai Rp 350.000 - Rp 750.000 per potong. (abdurrahman)

Senin, 02 Februari 2009

Yukiko Kagumi Batik Pekalongan


PEKALONGAN - Yukiko, wanita asal negeri Sakura tersebut secara khusus datang ke Pekalongan dalam rangka melakukan studi banding tentang batik.Menurut wanita berusia tiga puluh tujuh tahun ini, bahwa ada banyak perbedaan antara motif batik Pekalongan dengan motif batik di negaranya tersebut.
Jika di Jepang, motif batik antara lain bergambar bunga sakura, gunung air, naga, kupu-kupu serta motif-motif lainnya. Namun di Pekalongan Ia menemukan motif yang tidak ditemuinya di Jepang yakni seperti Parang Kusumo, Kawung, Sapu Jagad dan lain sebagainya.
"Ini sangat menarik karena di Jepang tidak ada motif-motif seperti ini," ujar Yukiko yang sempat mampir di Kantor Radar Pekalongan, Rabu malam (28/1).
Baru kali ini Yukiko menginjakkan kaki di Kota Pekalongan setelah sebelumnya Ia berada di Solo dan Yogyakarta.
"Saya sangat kagum dengan batik pesisiran seperti di Pekalongan ini. Karena warnanya yang mencolok berbeda dengan batik Solo dan Yogya," lanjut Yukiko yang ditemani pengurus AKRAP, masing-masing Abduurahman, Rudiono, Zulkarnaen dan Muhajir. Asal muasal Yukiko bisa sampai di Kota Pekalongan adalah atas informasi dari salah satu orang Pekalongan yang tinggal di Jepang. Menurut penuturan Yukiko, jika Ia ingin mempelajari batik lebih jauh, Ia diminta berkunjung ke Pekalongan untuk menemui Muhajir, salah satu pengurus asosiasi Handycraft di Kota Pekalongan.
Yukiko yang datang ke Pekalongan sejak hari Minggu kemarin berencana untuk tinggal selama lima hari. Dan selama di Pekalongan Ia menginap di hotel Nirwana.
Beberapa hari di Pekalongan Yukiko manfaatkan untuk melakukan riset ke beberapa pusat batik di kota ini serta belajar langsung tentang proses pembuatan batik.
Selain berkutat dengan batik, Yukiko juga menyempatkan diri untuk mencoba makanan khas Pekalongan seperti nasi megono. Ia juga mengaku sudah mencoba bakso "Bu Roni" yang ada di Kelurahan Sapuro.
"Bakso dan nasi megono enak sekali. Saya suka." katanya sambil tertawa renyah. Ia berharap bisa lebih lama lagi berada di Pekalongan namun Ia juga tidak bisa berlama-lama meninggalkan negeri Sakura tersebut. (abdurrahman)

Minggu, 01 Februari 2009

Lestarikan Batik Klasik


BENARKAH batik klasik sudah mati? Alhamdulilah, batik motif klasik belum mati. Batik ini masih hidup, dan dihidupkan oleh pengrajin batik yang tetap konsisten mempertahankan motif klasik. Badawi Yusuf, warga Rt 01 Rw 01 Kelurahan Sampangan Kecamatan Pekalongan Timur, salah seorang pengrajin batik yang tetap mempertahankannya.
Seperti diketahui, batik sekarang ini mengalami perkembangan yang pesat, baik dari sisi motif, pewarnaan maupun ragamnya. Hal tersebut karena untuk memenuhi tuntutan pasar yang dinamis. Sehingga inovasi merupakan salah satu kunci bagi pengrajin ataupun pengusaha batik agar usahanya tetap eksis.
Saat ini saja sudah ribuan lebih motif yang dikembangkan pengrajin batik kota pekalongan. Mengingat pengrajin batik Pekalongan dikenal kreatif, dan mudah menyesuaikan perkembangan zaman.
Badawi Yusuf mengatakan, dirinya mengenal batik saat bekerja di home indutri yang ada dilingkungan rumahnya. Kemudian, merasa sudah 'cukup', dia mendirikan usaha batik sendiri dengan ciri khas membuat batik motif klasik.
"Dari dulu sampai sekarang, saya tetap menekuni usaha membuat batik klasik," ucapnya yang ditemui di Rumahnya kemarin.Namun batik klasik yang dibuat Badawi Yusuf, tidak seperti batik klasik zaman belanda atau zaman tempo dulu yang warnanya sogan (coklat). Batik klasik yang dibuat Badawi telah mengalami perubahan warna, yakni menggunakan pewarnaan yang modern. "Jadi menggunakan warna batik yang digunakan sekarang. Hanya motifnya saja yang klasik," bebernya.
Diantara motif batik klasik yang dibuat, lanjut Badawi Yusuf, adalah motif kapal kandas, motif indramayu, motof cuwiri dan motif klasik lainnya. Batik yang dibikin dibuat selendang (tapeh), dan sarung selendang.
Proses pembuatan batik motif klasik, kata Badawi Yusuf, sangat lama sekali. Pertama, kain mori dari bahan primis jenis katun dipotong seukuran selendang, panjangnya sekitar 240 cm. Kemudian dibatik tulis. "Satu orang pembatik bisa menyelesaikan (membatik tulis) sekitar 30 hari," ucapnya.
Sehingga kalau memiliki pekerja membatik 5 orang. Maka sebulan hanya bisa menyelesaikan 5 potong kain. Itupun belum dihitung dengan waktu untuk proses pewarnaan. "Jadi satu potong batik bisa selesai dalam jangka waktu sekitar 45 hari," ungkapnya.
Kenapa membutuhkan waktu lama? jelas Badawi Yusuf, karena seluruh kain seukuran selendang dibatik tulis dengan menggunakan tekhnologi manual. "Jadi yang bekerja tangan. Semua ditulis dengan menggunakan tangan manual," jelasnya sembari menyebut jumlah pekerjanya sebanyak 15-an orang.
Pemasaran batik yang dibuat Badawi Yusuf dikerjakan oleh Mbak Mimin. Mbak Miminlah yang menjual batik karya Badawi Yusuf ke luar negeri melalui agennya di Bali."Batiknya diekpor ke Singapura, dan Jepang," ucapnya.
Yusuf Badawi mengaku alasan dirinya mengembangkan motif klasik. Karena ingin melestarikan budaya leluhur. "Jadi kami ingin melestarikannya," tegasnya.
Walaupun pengrajin batik yang lain berlomba-lomba menciptakan motif modern, Badawi Yusuf seakan tak peduli. Ia akan tetap melestarikan batik motif klasik.
Meski demikian bukan berarti Yusuf Badawi tidak mau berinovasi. Sebab, selain mengembangkan motif batik klasik, ia membuat batik motif batik kontemporer. "Tapi yang ini sifatnya tambahan saja, yang pokok saya membuat batik motif klasik," pungkas Badawi Yusuf. (dur)