Kamis, 09 Juli 2009

Baru 4 Bulan, Sudah Rambah Pasar Luar Kota


MESKI usaha yang didirikan baru berumur 4 bulan. Namun sudah mampu merambah pasar luar Kota Pekalongan, yakni Semarang dan Jawa Barat. Bahkan kini lagi 'menjajal' untuk mengekspor ke luar negeri, rencanannya ke Malaysia.
Itulah usaha membuat baju muslim payetan dan bordir yang ditekuni Nabil Diab. Adik kandung Isteri Walikota Balgies Diab itu tertarik mendirikan usaha baju muslim payetan dan bordir, sebab usaha tersebut lagi booming. Namun bukan semata itu saja, yang utama karena Nabil Diab ingin menyalurkan hobinya dalam membuat baju muslim. "Sudah lama keinginan itu ada dalam hati saya. Namun baru realisasi 4 bulan yang lalu," ucapnya sembari menjelaskan, bila keluarganya 7 perempuan semua dan hanya dirinya yang laki-laki. Ketika membeli baju mesti dimusyawarahkan. Dari musyawarah itulah muncul kecintaan terhadap motif-motif baju.
Diantara produk baju muslim yang dibuat Nabil Diab berupa Abaya (gamis(, rok panjang, stelan rok and blus, dan kerudung bordir maupun kerudung payet. Harganya per unit mulai dari 60 Ribu, sampai yang tertinggi Rp 300 Ribu.
Modal usaha yang digunakan untuk mendirikan usaha, kata Nabil, sangat kecil sekali. Ia mempunyai filosofi, kalau usaha yang didirikan dari modal yang kecil maka akan menjadi besar."Kalau dari modal kecil kemudian menjadi besar, akan terasa nikmatnya. Makanya saya selalu memulai dari yang kecil," tandasnya.
Nabil menjelaskan, kain yang dipakai untuk baju muslim maupun kerudung mendatangkan dari Bandung. Kain yang dipakai adalah kain bahan halus. Hal itulah yang mungkin membedakan dengan baju muslim maupun kerudung ditempat lain. "Kami menggunakan bahan yang halus. Sehingga memberi rasa nyaman bagi pemakainya," ucapnya.
Selain memiliki keunggulan dari bahan kain yang halus, lanjut Nabil, keunggulan lainnya berupa pilihan motif yang banyak. Pembeli ditawari dengan motif-motif yang beragam. "Motif-motif itu saya yang bikin, bersama Isteri. Kami dalam membuat motif selalu mengikuti trend yang berkembang, dan menciptakan trend sendiri," ucapnya.
Untuk menggali inspirasi dalam menciptakan motif, akui Nabil, ia memanfaatkan segala media yang berhubungan dengan mode. Sebut saja majalah, internet serta surat kabar. "Setelah menemukan inspirasi, saya kreasi sendiri. Saya membuat satu model hanya dibikin satu motif," ucapnya.
Nabil menamakan usaha barunya NAB. NAB itupula yang digunakan sebagai merk dagang untuk baju muslim, dan kerudungnya. "NAB itu diambilkan dari nama saya Nabil Diab. Tujuannya untuk memudahkan menyebut nama," tandasnya.
Nabil mengaku, dari usahanya itu mampu menyerap tenaga kerja sebanyak 15 orang. Sebagian besar dari Kota Pekalongan sendiri. Dengan begitu, telah mendukung program Pemkot dalam rangka meminalisasi jumlah pangangguran di Kota Pekalongan. (dur)

50 Pekerjanya Perempuan Semua


BATIK SEKAR WANGI. Inilah merk dagang milik H Kadarisman, warga Kelurahan Sapuro Kecamatan Pekalongan Barat yang spesialis membuat batik tulis dari bahan sutra.
Kadarisman mengaku, sebelum membuat batik tulis dari bahan sutra. Dirinya membuat batik dari bahan katun. Kemudian bahan katun ditinggalkan, dan beralih ke bahan sutra sampai sekarang."Saya telah menekuni usaha batik sebelum 1981. Baru 1981, saya didaftarkan ke pemerintah untuk mendapatkan legalitas," ucap Alumnus Sekolah Tinggi Perbankan di Jakarta.
Kadarisman mengaku, usahanya yang sekarang mengalami penurunan produksi dibanding tahun lalu. Saat rezim Soeharto, usahanya mengalami masa keemasan antara tahun 1996 sampai 1997. Karyawannya ada 130 orang. Namun sekarang 50 orang saja sebagai dampak krisis ekonomi, persoalan gejolak ekonomi yang ditandai dengan naiknya harga kedelai, terigu dan minyak goreng.
Saat jaya-jayanya pula, pemasarannya tidak hanya lokal Indonesia saja. Melainkan diekspor ke luar negeri, yakni ke Malaysia dan Brunai Darussalam."Waktu itu ada 3 buyer yang mengekspor batik tulis saya. Namun kini sudah tidak lagi, bahkan satu diantara 3 perusahaan itu terpaksa dijual karena gulung tikar," ucapnya sembari menyebut saat jaya-jayanya, setiap bulan mengirim 600 potong batik tulis.
Namun sekarang batik sutranya dijual ke lokal saja di Jakarta, Palembang, dan Bandung. Untuk pemasarannya, kata Kadarisman, ditangani sendiri. Begitupula produksinya. Ia sekarang mempekerjakan 50 orang saja. Yang unik, dari 50 pekerjanya itu perempuan semua. "Perempuan itu mempunyai jiwa halus. Berbeda dengan laki-laki yang biasanya muncul sikap kasar. Meski begitu, ada juga laki-laki yang memiliki jiwa halus, seperti Iwan Tirta dan desainer yang lainnya," ucap penerima Upakarti dari Presiden Soeharto karena keberhasilannya melakukan pembinaan kepada usaha kecil.
Pekerja yang semuanya perempuan, lanjut Kadarisman, tidak hanya dilakukan dirinya. Saat ibunya masih hidup, juga mempekerjakan batiknya pada pekerja perempuan. "Sekarang menurun pada saya. Mulai dari pembatik, ngelorot sampai yang memberikan warna, semuanya ditangani perempuan," akuinya yang juga pernah menerima Upapradana dari Gubernur Jateng Ismail.
Disinggung tentang strategi dalam mempertahankan usahanya? Kadarisman mengaku, selalu berinovasi dalam menciptakan motif-motif. Dalam menggali inspirasi, ia memanfaatkan media yang ada. Hasilnya motif yang dihasilkan selalu berbeda, sesuai dengan perkembangan mode.
Disamping itu, Ia tetap mempertahankan warna batik, yakni warna marun (merah hati(. Warna marun itu merupakan ciri khas Batik Sekar Wangi.
Kadarisman menjelaskan, nama Sekar Wangi diilhami dari adanya merk batik 'Arum Dalu' yang artinya wangi bila malam hari. Batik Arum Dalu tidak lama bertahan, dan akhirnya gulung tikar. Dengan nama Sekar Wangi yang artinya mewangi sepanjang hari diharapkan batiknya tetap lancar, dan tidak 0mengalami hambatan pemasaran dan bahan baku. "Alhamdulilah sampai sekarang masih lancar," pungkas Kadarisman. (dur)

Dion Manfaatkan Lahan Kosong

TIDAK banyak orang pintar memanfaatkan lahan pekarangan rumah yang kosong menjadi lahan yang produktif. Namun Dedi Kurniadi SPdI, warga Kelurahan Kramatsari Kecamatan Pekalongan Barat mampu memanfaatkannya dengan membuat kolam untuk beternak lele.
Hasilnya menguntungkan, hanya 2 bulan. Lelenya yang berukuran 6 cm telah besar menjadi 14 cm. Untuk pakannya tidak sulit, dari sisa-sisa makanan, dan pur. Sehingga lebih hemat."Alhamdulilah sekarang sudah besar-besar," ucapnya.
Dion-sapaan akrabnya mengaku, usaha ini dilatarbelakangi dengan adanya lahan yang kosong. Daripada dibiarkan terlantar-lebih baik dimanfaatkan guna meningkatkan kesejahteraan keluarga. "Kalau panen hasilnya lumayan untuk menambah belanja keluarga, sekaligus meningkatkan gizi keluarga," ucapnya.
Mengenai pemasarannya, Dion mengaku tidak kesulitan. Sebab ada penampung yang siap menerima hasil panennya. "Sudah ada penampung," jawabnya.
Mengenai bibit, Dion juga tidak mengalami kesulitan. Sebab banyak dijual di Wiradesa. Begitupula pakannya banyak dijual dipasaran ikan. Yang menjadi masalah pakan instannya mahal.
Dion menambahkan, selain menghasilkan tambahan pendapatan. Sisi lain, juga memberikan rasa kenikmatan bagi batin. "Saat pikiran jenuh, ketika melihat ikan-ikan berlarian. Maka pikiran jenuh menjadi hilang," kata Dion. (dur)

Kamis, 02 Juli 2009

Lanjutkan Usaha Alm MC Zurkoni, Usaha Yang Ditekuni Ida S Ardiyanti


SETELAH ditinggal MC Zurkoni, aktivis Pekalongan yang meninggal dunia karena kecelakaan di Linggoasri Kabupaten Pekalongan. Isterinya, Ida S Ardiyanti melanjutkan usaha suami yang telah ditekuni sejak lama, yakni menjual produk batik di Pasar Grosir PPIP, Jalan Dr Wahidin nomor 102 Pekalongan.
Mbak Ida, sapaan akrabnya-yang ditemui Selasa (5/8) sedang menata koleksi produk batik. Ditempat kios batik bernama 'Batik AISY', ia tidak hanya menjual produk batik. Perempuan yang dikaruniai dua anak dari hubungan dengan MC Zurkoni, masing-masing Ais dan Ryan M.Zakwan Zr Febriyan juga menjual garment, busana muslim dan busana wanita. Bisa dibilang cukup lengkap.
Mbak Ida mengatakan, setelah ditinggal Abang (panggilan Almarhum MC Zurkoni), dirinya harus menggantikan posisi suaminya dalam mencukupi kebutuhan hidup untuk dua anak-anaknya. Apalagi Ais, anak pertama sudah duduk dibangku Sekolah Dasar. Tentunya membutuhkan biaya yang cukup banyak."Apalagi saya ingin, Ais bisa melanjutkan sekolah sampai perguruan tinggi. Makanya saya harus bekerja untuk menafkahi keluarga. Jadi bisa dikata sudah 2 tahun, saya menekuni usaha batik," ucapnya.
Mbak Ida mengaku, dirinya mengenal bisnis batik sejak Abangnya masih hidup. Namun waktu itu, ia hanya diberi tanggungjawab mengurus administrasi keuangan, dan mengambil batik dari saudara-saudaranya yang membuat batik bila Almarhum ada pesanan produk batik. Karena kalau ingin ikut turun secara total ke bisnis batik, Abangnya selalu melarang. Alasannya agar lebih fokus mengurus Ais, yang saat itu masih Balita.
Karena MC Zurkoni telah meninggal dunia, maka segala urusan, mulai mengambil batik sampai memasarkannya hanya dilakukan seorang. "Untungnya adik-adik saya membantu. Kalau ada kesulitan, saya dibantu, hingga tugas saya menjadi ringan," ucap Mbak Ida.
Kalau dahulu masih mengambil produk batik dari saudara-saudaranya yang memproduksi kain batik. Kini, usaha yang dipegangnya telah maju selangkah, yakni memproduksi batik sendiri. "Produk batik yang kami produksi, berupa batik sutra untuk baju kemeja, daster dan tas yang telah dimotif dari bahan blaco."
Sedangkan produk batik yang mengambil dari saudaranya, berupa kemeja dari katun, baju lengan panjang. Untuk motif-motif produk batiknya dinamis, mengikuti perkembangan zaman.
Ditanya harga? Mbak Ida mengaku harga-harga produk batiknya variatif, tergantung dari bahan yang digunakan. Tentunya kalau bahannya dari kain sutra harganya lebih mahal bila dibandingkan dengan bahan katun.**Yang Unik
Mbak Ida mengaku, yang membedakan kios 'Batik Aisy' dengan kios yang lain, bila kiosnya menyediakan tas yang telah dimotif dari bahan blaco. Motifnya sangat unik yakni motif etnik. Sedangkan pembuatan motifnya dengan cara dijahit.
Mbak Ida menceritakan, saat memulai usaha menjual produk batik, dirinya tidak diwarisi harta yang berlimpah. Melainkan semangat dan modal yang cukup. Semangat yang masih dikenang-itulah yang membuat dirinya berani sendiri memikul tanggung jawab sebagai Ibu, sekaligus kepala rumah tangga."Alhamdulilah, dari modal yang pas-pasan. Kini (modalnya) telah bertambah. Meski masih butuh untuk menambah koleksi produk batik," ucapnya, sembari siap bekerja sama dengan pihak manapun dalam penjualan produk batik.
Meski dibilang sebagai pemain baru dalam bisnis batik, Ida S Ardiyanti menyadari ada resiko dalam usaha menjual produk batik, salah satunya ketika produk batiknya diambil tidak dibayar. Almarhum pernah mengatakan, orang yang hidup di jalan raya kalau tidak ditabrak maka akan tertabrak. Maksudnya, orang yang bisnis batik harus siap-siap bila ketika batiknya diambil pembeli namun tidak dibayar. "Kalau ada pesanan batik tidak dibayar, tidak perlu kecewa. Tapi yakinlah, Allah pasti akan membukakan jalan solusi," kenangnya.**Atas Dorongan AnaknyaMbak Ida mengatakan, pasca ditinggal suaminya, maka dirinya harus menjual produk batik ke Jakarta dan Salatiga. Jaringan pemasaran tersebut sudah terbentuk saat Almarhum Zurkoni masih bisnis batik secara sambilan, karena aktivitasnya lebih banyak sebagai aktivis LSM."Serta sebagian lagi dibawa teman-teman untuk dijual ke daerah lain."
Ida S Ardiyanti mengaku, bila dirinya membuka kios di Pasar Grosir PPIP karena dorongan putra yang pertama, Ais. Meski masih kecil, anaknya mengatakan, ambilah kesempatan (membuka kios di Pasar Grosir PPIP) karena kesempatan tersebut tidak akan datang dua kali."Dengan niat Bimillah, saya membuka kios disini (Pasar Grosir PPIP). Alhamdulilah, kemarin sudah ada yang mampir untuk membeli produk batik," jelasnya lagi.
Yang membuatnya yakin lagi, Ais ikut menata produk-produk batik, garmen, maupun busana muslim Ternyata tampilan hasil penataan kios 'Batik Aisy' sesuai arahan Ais sangat rapi. "Saya menjadi senang bisa membuka kios disini, meski uang yang harus ku keluarkan tidak sedikit," pungkas Ida. (abdurrahman)

Industri 'Kelir Batik' Miliki Ciri Khas Warna Terang


INDUSTRI batik bisa tetap hidup karena memiliki nilai artistik. Muhammad Farid selaku pengrajin-sekaligus produsen batik memiliki ciri khas dalam warna produk batiknya yang terang, atau cerah.
Praktis saja, banyak pengusaha batik meminta jasa home industri 'Kelir Batik' milik M Farid, yang berada di Desa Spacar Kecamatan Tirto, Kabupetan Pekalongan untuk membikinkan kain batiknya.
Menjelang bulan Ramadhan ini saja, 'sanggan' yang dikerjakan 'Kelir Batik' bisa dihitung 3 kali lipat bila dibandingkan dari bulan-bulan sebelumnya. "Alhamdulilah, sekarang ini saja, sanggannya 3 kali lioat dari bulan sebelumnya," ucap M Farid, atau yang akrab disapa Bang Ayid kepada Radar, Selasa (15/7).
Datangnya pengusaha batik yang memberikan pekerjaan kepada dirinya, lanjut Bang Ayid, tidak hanya dari lokal saja. Melainkan juga dari luar Pekalongan, bahkan ada yang luar jawa. Padahal jasa membuatkan batik di home industri 'Kelir Batik' belum pernah dipublikasikan, atau diiklankan. "Iklannya mulut ke mulut. Mereka yang pernah memberikan pekerjaan kepada kami, biasanya menginformasikan kepada pengusaha yang lain. Jadi mereka datang sendiri ke kami."
Bang Ayid mengaku, yang sering dikerjakanya adalah membuat selendang batik dari bahan sutra, dan kain ATBM (Alat Tenun Bukan Mesin). Bila dibandingkan dengan home industri batik yang lain, selendang batik bikinan M Farid memiliki warna yang terang atau cerah. "Warna cerah inilah khas dari produk batik yang kami buat," terangnya.
Kendati lebih banyak menerima jasa dibuatkan selendang batik, di home industri 'Kelir Batik' juga membuka jasa pembuatan kain batik lainnya. Misalnya saja menerima jasa pembuatan kain batik untuk baju untuk hem maupun blus, serta yang lain.
Yang membedakan lagi, kalau di home industri 'Kelir Batik' mampu membuatkan kain batik untuk blus dengan motif mega mendung, sedangkan home industri batik yang lain belum tentu sanggup membuatnya. "Untuk pembuatan motif mega mendung, tidak semua produsen batik bisa," tambah Isteri Bang Ayid, Diana.
Saat ini, home industri 'Kelir Batik' yang dirintis Bang Ayid, dan Diana mampu menyerap 27 orang tenaga kerja. Tentunya meringankan beban pemerintah dalam menyiapkan lapangan pekerjaan. "Mungkin, jelang bulan Ramadhan ini, kami akan menambah pekerjaan karena tambahnya pekerjaan."
Diana mengaku tidak akan selamanya menjadi produsen batik. Jebolan Universitas Gajah Mada (UGM) itu berencana akan membuat produk batik sendiri, dan memasarkannya. Alasannya belum membikin batik sendiri dan memasarkannya, mengingat anak-anaknya masih kecil-kecil. Sehingga untuk sementara masih fokus pada usaha menerima jasa produksi batik. "Mungkin, kalau anak-anak sudah besar, kami punya waktu untuk memasarkan batik ke luar kota. Karena untuk memasarkan produk batik harus keluar kota biar harganya tidak jatuh," ucap Diana.
Diana menceritakan, kali pertama dirinya dan suami mendirikan home industri 'Kelir Batik', karena melihat banyak peralatan batik, seperti ender, dan cap yang ditelantarkan di rumah suaminya. "Mertua saya adalah pengrajin batik. Dulunya, beliau menekuni usaha batik, namun sekarang sudah berhenti," kenangnya.
Usaha mertuanya berhenti, lanjut Diana, karena krisis ekonomi pada tahun 1997. Waktu itu, tidak saja usaha bapak M Farid yang gulung tikar, melainkan home industri batik yang lain mengalami nasib yang serupa. "Maklum saja, usaha mertua saya itu termasuk usaha mikro. Jadi hanya pengusaha ataupun pengrajin batik yang memiliki modal kuat saja yang mampu bertahan."
Terpanggil untuk melestarikan batik, sekaligus untuk mencari sumber ekonomi bagi kehidupan keluarganya, lanjut Diana, dirinya bersama suami tercinta mendirikan usaha jasa produksi batik. "Alhamdulilah sampai sekarang lancar. Meski kami masih ngontrak rumah, namun berkah," pungkas Diana. (abdurrahman)

Rabu, 01 Juli 2009

Para Pedagang Batik Ngaku Omzetnya Capai Jutaan Rupiah


BISNIS eceran batik di Pasar Grosir Setono Pekalongan, hingga saat ini terus berkembang. Para perajin dan pedagang batik yang berjualan di pasar grosir mengaku, omzetnya mencapai jutaan rupiah.
Tingginya nilai transaksi penjualan batik tersebut menyebabkan penambahan kios bertambah. Bahkan, di sebelah barat telah dibangun toko batik.
Pengelola Grosir Setono, Drs Soni Hikmalul MSi mengatakan, omzet perdagangan batik di pasar grosir sangat tergantung pada hari-hari kegiatan besar masyarakat.
Pada bulan Ramadhan hingga pasca-Lebaran misalnya, biasanya omzet Rp 2 juta per hari diperoleh perajin atau pedagang. Bulan yang ramai lainnya adalah masa panen tembakau atau panen padi. "Musim hujan yang menyebabkan tanaman petani kebanjiran turut mengurangi omzet penjualan batik," ucapnya.
Soni Hikmalul mengemukakan, pasar grosir ini dipenuhi perajin maupun pedagang yang banyak menjual produk batik Pekalongan seperti busana wanita, baju, celana, perlengkapan aksesori rumah tangga seperti kain seprei, sarung bantal, dan sebagainya.
Konsep awal pasar grosir ini hanya untuk perdagangan produk batik, namun belakangan usaha konveksi mulai bergabung. Pasar Grosir Setono juga mulai ditiru swasta lain dengan membangun pasar serupa di lokasi lain.
“Sudah terdapat tujuh pasar grosir batik di Pekalongan dan sekitarnya. Pasar grosir terbesar adalah Pasar Setono, Gamer, Pantura, dan Bondansari," kata Soni Hikmalul.
kata Soni Hikmalul mengatakan, perdagangan batik di pasar grosir ini sudah melebar. Pembeli tidak hanya warga Jawa Tengah, tetapi juga sudah banyak pedagang besar dari berbagai provinsi. Pedagang dari mancanegara pun mulai melirik dan mencari pakaian batik dari Pekalongan. (dur)

Batik Pekalongan, Antara Masa Lampau dan Kini

BATIK Pekalongan sejak lama diekspor ke sejumlah negara, antara lain Singapura, Thailand, dan Amerika Serikat. Sedemikian terkenalnya batik dari Pekalongan, Jawa Tengah sehingga jenis batik ini tidak berhenti hanya menjadi hasil kegiatan ekonomi, tetapi juga telah menjadi ikon wisata.
Batik Pekalongan menjadi sangat khas karena bertopang sepenuhnya pada ratusan pengusaha kecil, bukan pada segelintir pengusaha bermodal besar. Sejak berpuluh tahun lampau hingga sekarang, sebagian besar proses produksi batik pekalongan dikerjakan di rumah-rumah.
Akibatnya, batik Pekalongan menyatu erat dengan kehidupan masyarakat Pekalongan yang kini terbagi dalam dua wilayah administratif, yakni Kota Pekalongan dan Kabupaten Pekalongan, Jawa Tengah. Batik pekalongan adalah napas kehidupan sehari-sehari warga Pekalongan. Ia menghidupi dan dihidupi warga Pekalongan.
Meskipun demikian, sama dengan usaha kecil dan menengah lainnya di Indonesia, usaha batik pekalongan kini tengah menghadapi masa transisi. Perkembangan dunia yang semakin kompleks dan munculnya negara pesaing baru, seperti Vietnam, Malaysia dan China menantang industri batik Pekalongan untuk segera mentransformasikan dirinya ke arah yang lebih modern.
Gagal melewati masa transisi ini, batik Pekalongan mungkin hanya akan dikenang generasi mendatang lewat buku sejarah.
Fathiyah A Kadir, seorang pengusaha batik di Kota Pekalongan, mengatakan, pada awal tahun 1970-an hampir seluruh pekerja di unit usaha batik pekalongan adalah petani. "Jadi, mereka tukang batik sekaligus petani," ujarnya.
Ketika itu, pola kerja tukang batik masih sangat dipengaruhi siklus pertanian. Saat berlangsung masa tanam atau masa panen padi, mereka sepenuhnya bekerja di sawah. Namun, di antara masa tanam dan masa panen, mereka bekerja sepenuhnya sebagai tukang batik.
"Suasana kerja sangat diwarnai semangat keguyuban, semangat kekeluargaan," ungkap perempuan pengusaha itu.
Pengrajin Batik Pekalongan lainnya, Khusnul Khotimah mengatakan, apa yang dihadapi industri batik pekalongan saat ini mungkin adalah sama dengan persoalan yang dihadapi industri lainnya di Indonesia, terutama yang berbasis pada pengusaha kecil dan menengah.
Persoalan itu, antara lain, berupa menurunnya daya saing yang ditunjukkan dengan harga jual produk yang lebih tinggi dibanding harga jual produk sejenis yang dihasilkan negara lain. Padahal, kualitas produk yang dihasikan negara pesaing lebih baik dibanding produk pengusaha Indonesia.
Penyebab persoalan ini bermacam-macam, mulai dari rendahnya produktivitas dan keterampilan pekerja, kurangnya inisiatif pengusaha untuk melakukan inovasi produk, hingga usangnya peralatan mesin pendukung proses produksi.
Kompetisi yang kian ketat mengondisikan usaha kecil menengah untuk memperbaiki kinerja, sekaligus memperbaiki kualitas produk yang mereka hasilkan. Paradigma lama kerap menuding tuntutan perbaikan kesejahteraan pekerja sebagai kambing hitam terjadinya pembengkakan produksi.
Paradigma ini mengabaikan kualitas pekerjaan yang baik atau kreativitas untuk menghasilkan inovasi produk keluar dari pekerja yang sejahtera dan pekerja yang melaksanakan tugasnya dengan tenang.
Untuk bertahan di tengah kompetisi yang semakin ketat, pengusaha batik pekalongan sudah seharusnya mengadopsi paradigma baru dalam mengelola usaha mereka. Sebagaimana tersirat pada pandangan yang disampaikan Totok.
"Kualitas produk sangat ditentukan oleh pekerja. Program yang menguntungkan pekerja, seperti Jamsostek, sangat membantu pemberdayaan pekerja," ujarnya.
Hanya bersandarkan pada keunggulan upah pekerja yang murah sudah harus ditinggalkan pengusaha Indonesia, termasuk pengusaha batik pekalongan. Bersandarkan pada keunggulan berupa keunikan produk tampaknya juga sudah harus ditinggalkan.
"Pesaing kita semakin berat. Bayangkan, saat saya berkunjung ke Bangkok, saya melihat ternyata Thailand kini juga mampu membuat batik yang jauh lebih bagus daripada yang kita hasilkan," ungkap Totok.
BAGI pengusaha batik pekalongan, memasuki tahun 2004 adalah memasuki masa yang penuh kesulitan. Permintaan batik pekalongan dari segala penjuru di Indonesia anjlok drastis. Berkodi-kodi batik menumpuk di tempat pengerjaan karena lesunya permintaan.
"Ketika krisis moneter tahun 1997, batik pekalongan terpukul akibat kenaikan harga kain mori. Namun, dampak kenaikan harga kain mori cukup bisa diimbangi dengan penjualan ekspor batik pekalongan yang menguntungkan karena anjloknya nilai tukar rupiah terhadap dollar AS. Kondisi ini berbeda dengan sekarang. Nilai tukar rupiah sudah relatif stabil, tetapi permintaan sangat lesu," kata Direktur Pasar Grosir Setono, Kota Pekalongan, Hasanuddin.
Sejumlah pedagang batik di pasar grosir menuding penyelenggaraan Pemilihan Umum (Pemilu) 2004 sebagai penyebab menurunnya omzet penjualan batik pekalongan hingga 50 persen. Argumennya, orang menunda perjalanan ke pekalongan karena menunggu hingga rampungnya kampanye Pemilu 2004.
Akan tetapi, bagi Hasanuddin, lesunya penjualan batik pekalongan terkait erat dengan penurunan daya beli masyarakat. Alasannya, jika penjualan batik pekalongan lesu hanya dikarenakan Pemilu 2004, tentu pesanan batik dari luar Pekalongan, seperti Makassar dan Surabaya, relatif tidak mengalami kelesuan karena orang tidak perlu melakukan perjalanan ke Pekalongan.
"Pengusaha batik yang dulu berorientasi menjual produknya ke luar kota sekarang beramai-ramai berjualan di Pekalongan. Ini ditandai dengan melonjaknya permintaan kios di pasar grosir," ujar Hasanuddin.
Akan tetapi, usaha itu tampaknya tetap tidak membantu. Bertumpuk-tumpuk batik tetap saja tak terjual di tempat produksi. Karena itu, dari sekitar 100 usaha batik di daerah Kelurahan Buaran, misalnya, sekitar 25 persen di antaranya sudah meliburkan pekerja. "Penjualan macet. Bagaimana mereka bisa melanjutkan produksi?" ungkap Hasanuddin.
Redupnya usaha batik pekalongan, menurut Hasanuddin, juga ditandai dengan kian banyaknya penyewa kios di Pasar Grosir Setono yang membayar ongkos sewa dengan cek kosong. Ini nyaris tidak pernah ditemui pada masa sebelumnya.
"Padahal, penyewa kios itu tergolong pengusaha besar dan nilai sewa yang harus dibayarkan cukup kecil, hanya Rp 1 juta-Rp 2 juta. Saya kira, dalam kondisi normal, tidak mungkin pengusaha yang tergolong cukup mapan melakukan hal tersebut," kata Hasanuddin lagi.
Akan tetapi, peka terhadap tuntutan pasar dan meresponsnya dalam bentuk inovasi dibuktikan pengusaha batik pekalongan, Rusdiyanto, yang berhasil menyelamatkan usahanya dari terpaan krisis. "Kalau saja saya tidak memulai memproduksi batik serat nanas tiga tahun lalu, usaha batik saya mungkin juga sudah meliburkan pekerja sekarang," kata pria yang tempat usahanya berada di Kelurahan Setono, Kota Pekalongan, tersebut.
Batik serat nanas yang diproduksi Rusdiyanto memang tidak terpengaruh oleh terpaan krisis. Harga kain batik pekalongan berserat nanas dengan ukuran panjang 2,56 meter dan lebar 1,15 meter bisa mencapai Rp 1,5 juta-Rp 3 juta. Karena itu, orang yang membeli jenis batik ini tentunya mereka dengan kondisi keuangan yang nyaris tidak terjamah gempuran krisis.
Bahkan, Rusdiyanto mengaku saat ini kesulitan untuk memenuhi order. "Batik serat nanas yang saya produksi tidak pernah menumpuk. Baru jadi, langsung dibawa pembeli ke Jakarta atau Singapura," ungkapnya.
Menurut Totok Parwoto, harga batik serat nanas di Jakarta naik berkali-kali lipat dibandingkan saat harganya masih di Pekalongan. "Kain batik serat nanas yang harganya di Pekalongan Rp 3 juta bisa mencapai Rp 7 juta di Jakarta," ungkapnya.
Batik serat nanas memiliki harga yang mahal karena suplai kain serat nanas masih sangat sedikit. Saat ini pengusaha batik serat nanas di Pekalongan hanya bergantung pada dua penyuplai kain serat nanas, yakni dari Kabupaten Pemalang dan dari Pabrik Radika di Pekalongan.
Sedikitnya produsen kain serat nanas disebabkan tingkat kesulitan yang cukup tinggi dalam proses pemintalan serat nanas menjadi benang, yang selanjutnya ditenun menjadi kain. Padahal, di Pemalang, terutama di Kecamatan Belik, tanaman nanas melimpah ruah.
Selain itu, harga kain batik serat nanas sangat mahal karena jenis batik ini dipadukan dengan serat sutra. Padahal, batik sutra sendiri sudah tergolong sebagai batik yang mahal. "Belum lagi pembuatan batik serat nanas dilakukan dengan tangan atau termasuk batik tulis. Satu bulan, satu pekerja saya hanya menghasilkan satu kain batik serat nanas," kata Rusdiyanto.
Inovasi yang dilakukan Rusdiyanto bukan hanya terbatas pada penggunaan serat nanas. Pengusaha batik ini juga melakukan inovasi pada motif batik. "Saya menggunakan motif batik pekalongan kuno," ujarnya.
Motif batik pekalongan kuno adalah motif yang dipakai saat pertama kali batik pekalongan muncul. Motif ini biasanya berbentuk tentara Belanda atau orang Belanda dengan segala atributnya. Bahkan, tidak jarang motif itu juga menggambarkan tank.
Warna yang digunakan Rusdiyanto juga warna saat batik pekalongan pertama kali muncul, yakni warna yang natural, seperti coklat atau merah bata. Berbeda dengan warna batik pekalongan sekarang, yang disebut orang dengan warna ngejreng. "Kain batik serat nanas dengan motif kuno dan warna alam ternyata sangat disukai pembeli dari luar negeri," katanya. (abdurrohman)

Dari Museum Batik ke RM Puas, Rombongan Terpuaskan


Media Radar Pekalongan dan Radar Tegal, Sabtu (27/6) menerima kunjungan tamu istimewa. Itu karena mendapat kunjungan mitranya dari Jakarta. Seperti apa?
LAPORAN : ABDURROHMANDari : Pekalongan
SEKIRA jam 02.00 WIB, mitra Radar Pekalongan dan Radar Tegal tiba di Kota Pekalongan. Rombongan tersebut lalu di jemput GM Radar Pekalongan Ade Asep Syarifuddin, Manager Iklan Rosikin, serta GM Radar Tegal M Sukron, Manager Iklan Arifin dan Wawan Setiawan dari bagian redaksi di Radar Tegal.
Dengan suasana penuh keakraban, baik rombongan dari Jakarta dan Radar Pekalongan dan Radar Tegal bertepuk sapa dan saling bergurau. Kemudian bermalam di Hotel Nirwana.
Paginya, rombongan diajak ke Museum Batik yang berada di Jalan Jetayu. Sesampai di museum batik yang diresmikan Presiden SBY, rombongan disambut pengelola museum. Dalam kesempatan itu, Mas Seno dan Mbak Ririn langsung terjun untuk menyambut.
Saat penyambutan, Mbak Ririn menyampaikan bila Museum Batik dulunya merupakan kantor peninggalan Belanda. Ditempat tersebut dijadikan sebagai kantor administrasi tebu.
Setelah merdeka, hak kepemilikannya diambil alih pemerintah. Lalu difungsikan sebagai kantor pemerintah, pernah digunakan Kantor Dinas Pendapatan Daerah (Dipenda) Kota Pekalongan.
Sebagai museum batik, kata Mbak Ririn, gedung Museum Batik menyimpan koleksi batik dari berbagai daerah se-Indonesia. Bahkan umurnya, ada yang sudah ratusan tahun."Misalnya batik dari Bengkulu, ini umurnya sudah seratus tahun," terangnya.
Dalam kesempatan itu, Mbak Ririn menunjukan satu-persatu batik dari daerah di Indonesia. Ia juga menunjukan adanya perbedaan batik dari daerah satu dengan daerah lainnya.
Usai mengunjungi Museum Batik. Perjalanan dilanjutkan ke Home Industri Tobal Batik, yang berada di jalan Teratai 24.
Ditempat usaha batik yang dikelola Hj Fatchiyah A.Kadir, rombongan diajak untuk melihat proses produksi batik, dari kain putih sampai menjadi fashion.
Satu-persatu Bu Fat-sapaan akrabnya, menunjukan tempat pengecapan, serta menunjukan cara mengecap atau membatik. Sampai akhirnya menunjukan tempat penjahitan.
Dijelaskannya olehnya, bila Batik merupakan kekayaan bangsa yang harus dipertahankan. Olah karena Pemkot Pekalongan, dengan didukung seluruh warganya mengajukan kepada UNESCO untuk menetapkan batik sebagai warisan budaya bangsa Indonesia."Alhamdulilah usaha kami berhasil, dan nanti penghargaan batik sebagai warisan budaya bangsa Indonesia akan diberikan," terangnya
Puas ditempat Showroom Tobal Batik. Rombongan mempir ke Pasar Grosir Setono, ditempat itu langsung memborong pakaian. "Wah murah-murah ya...," kata Icha, salah satu rombongan yang ikut ke Pekalongan.
Dalam kesempatan itu, ia banyak membeli pakaian, baik untuk dirinya sendiri, untuk oleh-oleh orang tuanya maupun untuk oleh-oleh kawannya di kantor."Kalau ini (baju batik,red) untuk saya sendiri guna aktivitas di kantor," ucapnya kepada Radar saat mendampinginya di Pasar Grosir Setono.
Capek di Pasar Grosir Setono, rombongan mampir di Rumah Makan Puas. Ditempat itu, rombongan menikmati nasi kebuli, sate, nasi megono. "Wah enaknya. Tambah satu porsi lagi dong Mbak," ucap Arifin dan Wawan Setiawan, rombongan dari Radar Tegal.
Usai menikmati hidangan, rombongan langsung puas. Karena sangat menikmati kunjungan di Kota Pekalongan. (*)

Dari Kunjungan Mitra Radar Pekalongan dan Radar Tegal dari Jakarta di Kota Pekalongan.

Media Radar Pekalongan dan Radar Tegal, Sabtu (27/6) menerima kunjungan tamu istimewa. Itu karena mendapat kunjungan mitranya dari Jakarta. Seperti apa?
LAPORAN : ABDURROHMANDari : Pekalongan
SEKIRA jam 02.00 WIB, mitra Radar Pekalongan dan Radar Tegal tiba di Kota Pekalongan. Rombongan tersebut lalu di jemput GM Radar Pekalongan Ade Asep Syarifuddin, Manager Iklan Rosikin, serta GM Radar Tegal M Sukron, Manager Iklan Arifin dan Wawan Setiawan dari bagian redaksi di Radar Tegal.
Dengan suasana penuh keakraban, baik rombongan dari Jakarta dan Radar Pekalongan dan Radar Tegal bertepuk sapa dan saling bergurau. Kemudian bermalam di Hotel Nirwana.
Paginya, rombongan diajak ke Museum Batik yang berada di Jalan Jetayu. Sesampai di museum batik yang diresmikan Presiden SBY, rombongan disambut pengelola museum. Dalam kesempatan itu, Mas Seno dan Mbak Ririn langsung terjun untuk menyambut.
Saat penyambutan, Mbak Ririn menyampaikan bila Museum Batik dulunya merupakan kantor peninggalan Belanda. Ditempat tersebut dijadikan sebagai kantor administrasi tebu.
Setelah merdeka, hak kepemilikannya diambil alih pemerintah. Lalu difungsikan sebagai kantor pemerintah, pernah digunakan Kantor Dinas Pendapatan Daerah (Dipenda) Kota Pekalongan.
Sebagai museum batik, kata Mbak Ririn, gedung Museum Batik menyimpan koleksi batik dari berbagai daerah se-Indonesia. Bahkan umurnya, ada yang sudah ratusan tahun."Misalnya batik dari Bengkulu, ini umurnya sudah seratus tahun," terangnya.
Dalam kesempatan itu, Mbak Ririn menunjukan satu-persatu batik dari daerah di Indonesia. Ia juga menunjukan adanya perbedaan batik dari daerah satu dengan daerah lainnya.
Usai mengunjungi Museum Batik. Perjalanan dilanjutkan ke Home Industri Tobal Batik, yang berada di jalan Teratai 24.
Ditempat usaha batik yang dikelola Hj Fatchiyah A.Kadir, rombongan diajak untuk melihat proses produksi batik, dari kain putih sampai menjadi fashion.
Satu-persatu Bu Fat-sapaan akrabnya, menunjukan tempat pengecapan, serta menunjukan cara mengecap atau membatik. Sampai akhirnya menunjukan tempat penjahitan.
Dijelaskannya olehnya, bila Batik merupakan kekayaan bangsa yang harus dipertahankan. Olah karena Pemkot Pekalongan, dengan didukung seluruh warganya mengajukan kepada UNESCO untuk menetapkan batik sebagai warisan budaya bangsa Indonesia."Alhamdulilah usaha kami berhasil, dan nanti penghargaan batik sebagai warisan budaya bangsa Indonesia akan diberikan," terangnya
Puas ditempat Showroom Tobal Batik. Rombongan mempir ke Pasar Grosir Setono, ditempat itu langsung memborong pakaian. "Wah murah-murah ya...," kata Icha, salah satu rombongan yang ikut ke Pekalongan.
Dalam kesempatan itu, ia banyak membeli pakaian, baik untuk dirinya sendiri, untuk oleh-oleh orang tuanya maupun untuk oleh-oleh kawannya di kantor."Kalau ini (baju batik,red) untuk saya sendiri guna aktivitas di kantor," ucapnya kepada Radar saat mendampinginya di Pasar Grosir Setono.
Capek di Pasar Grosir Setono, rombongan mampir di Rumah Makan Puas. Ditempat itu, rombongan menikmati nasi kebuli, sate, nasi megono. "Wah enaknya. Tambah satu porsi lagi dong Mbak," ucap Arifin dan Wawan Setiawan, rombongan dari Radar Tegal.
Usai menikmati hidangan, rombongan langsung puas. Karena sangat menikmati kunjungan di Kota Pekalongan. (*)

Minggu, 07 Juni 2009

Batik Dapat Pengakuan UNSECO

UPAYA mengusulkan kepada UNESCO agar batik dijadikan sebagai warisan budaya dunia melalui proses panjang dan rumit. Karena harus memenuhi persyaratan dari badan dunia tersebut , di antaranya menyiapkan naskah akademik tentang batik memiliki masyarakat pecinta batik dan pemerintah mendukung usulan tersebut.Batik Indonesia yang diusulkan tersebut bukan motifnya melainkan nilai estetikanya yang sampai saat ini masih dipegang teguh oleh sebagian masyarakat Indonesia, khususnya masyarakat Jawa terutama di Pekalongan.Setelah melalui perjalanan panjang, akhirnya UNESCO bulan Oktober mendatang akan menetapkan batik sebagai warisan budaya dunia, pemerintah dan masyarakat Indonesia harus bertanggungjawab untuk menjaga pelestarian dan keaslian karya budaya tersebut .Tentu saja kabar ini di sambut gembira oleh seluruh semua stekholder yang mengusung usulan batik sebagai warisan budaya dunia, seperti halnya yang diungkapkan Fathiyah A.Kadir Ketua Paguyuban Pecinta Batik ini merupakan kemenangan bagi Indoensia. “Ini menbanggakan karena kerja kera kita bersama, terutama pemerintah tidak sia-sia,” katanya.Selain Fathiyah, perajin batik juga menyambut suka cita hal ini, sebagaimana diungkapkan Rusdiyanto perajin Batik di kelurahan Banyurip Alit, sebab masyarakat dunia akan lebih mengenal batik. “Pengukuhan ini menjadi motivasi kita untuk lebih mengembangkan batik,” katanya. Menanggapi rancana dikukuhkanya batik sebagai warisan budaya dunia Wakil walikota Pekalongan H Abu Almafachir mengatakan, sudah sepantasnya batik ini di kukuhkan menjadi budaya Indonesia rencananya pengukuhan ini dilakukan di antara bulan September-Oktober. Diakuinya, batik sebagai warisan Indonesia, paling tidak membuktikan bahwa klaim batik oleh Malaysia tidak berpengaruh, menurut Abu Almafachir batik Malaysia berbeda dengan batik Indonesia dan batik Malaysia belum memenuhi unsur-unsur batik. “Meski mendapat pengakuan Unesco, tentu batik juga mendapatkan tantangan dengan larangan import batik Indonesia oleh Malaysia dan produk tekstil bermotif batik dari China,” katanya.Meskipun pihak asing mencoba merebut dan mencontoh Indonesia, namun kata wakil walikota dari pengalaman pribadi Iming-iming pengusaha Malaysia tidak mengoyahkannya.Dengan berbagai cobaan yang mendera pembatik Pekalongan, dengan adanya pengukuhan ini memang diharapkan akan membantu pengusaha batik yang mengekspor produksinya. Untuk menjaga pelestarian batik sebagai karya cipta budaya Ketua Paguyuban Pecinta Batik Pekalongan Fathiyyah A.Kadir mengharap seluruh komponen warga kota Pekalongan untuk mempertahankan budaya diperlukan kekuatan ekonomi untuk mendukungnya. penetapan warisan budaya dunia dari UNESCO tersebut memiliki keuntungan yaitu masyarakat dunia akan mendukung warisan budaya tersebut.Namun, sebaliknya jika masyarakat tidak bertanggungjawab dan membiarkan kelestarian warisan budaya itu terancam maka dampaknya UNESCO dapat mencabut ketetapan sebagai warisan budaya dunia, tentu ini menjadi tantangan bagi kita yang tinggal di kota batik dunia. (dur)

Senin, 04 Mei 2009

Selama Ekspo, Batik Terjual Rp 1,47 M




PEKAN Batik Internasional (PBI) ke-2 tahun 2009 di GOR Jetayu, resmi ditutup, Minggu (3/5) sore. Selama ekspo dari tanggal 29 April sampai 3 Mei 2009, transaksi batik mencapai Rp 1,47 miliar.Hal itu diakui ketua panitia PBI, Drs Arie Putranto MM. “Apresiasi terhadap acara PBI sangat luar biasa. Terbukti, transaksi batik hanya dalam waktu beberapa hari mencapai Rp 1,47 miliar,” katanya seraya menjelaskan jumlah itu belum termasuk transaksi pesanan atau order. Belum lagi penjualan pameran buku murah. Tercatat di panitia, selama pameran ratusan buku senilai Rp 782 juta terjual. “Dengan jumlah buku yang terjual bisa kita simpulkan peminat baca di Kota Pekalongan luar biasa. Dan ini perlu ditindaklanjuti,” ungkapnya seraya menjelaskan untuk transaksi kuliner sendiri selama ekspo mencapai kuliner 240 juta.Dijelaskan Arie, dengan suksesnya penyelenggaraan PBI bisa mengangkat citra Kota Pekalongan yang sudah dikenal sebagai kota batik. “Tujuan PBI sendiri untuk mengangkat citra batik sebagai warisan budaya. Batik juga bisa menjadi nafas ekonomi di Kota Pekalongan. Dan lebih penting lagi, dengan adanya PBI lebih meningkat ekonomi batik kita,” ujarnya.Diungkapkan Arie, saat ini PBI sudah menjadi agenda dua tahunan. “Ke depan, PBI akan terus dilaksanakan 2 tahun sekali yang bersifat Internasional. PBI akan digelar tiap tahun ganjil, dan tentunya akan ada Internasional,” tuturnya.Selain PBI yang bersifat Internasional, Kota Pekalongan juga berencana akan membuat pameran batik regional yang bersifat nasional. “Saat ini yang kami (panitia) lakukan adalah mengevaluasi kegiatan PBI sekarang,” imbuhnya.Sebelumnya, Menteri Perdagangan Republik Indonesia Dr. Mari Elka Pangestu yang membuka PBI juga mengatakan, tema PBI yang diambil mempunyai makna yang dalam, yaitu bagaimana batik dapat dikenal oleh dunia. “Dan kita bangga dengan hasil karya kita sendiri,” ucapnya.Dia juga berusaha untuk dapat membantu memberikan kemudahan dalam menerbitkan hak paten bagi para pengrajin batik, serta membantu meningkatkan pemasaran produsen batik di Jawa Tengah di tingkat Internasional. Sementara itu, Asisten Ekonomi Pembangunan Provinsi Jawa Tengah Drs. Sriyadi, MSi yang mewakili Gubernur Jawa Tengah dalam sambutannya mengatakan, selama lebih dari 200 tahun, perkembangan batik di Jawa Tengah mengalami pasang surut sesuai dengan dinamika masyarakat dan perekonomian daerah. “Namun demikian beberapa tahun terakhir ini, batik menunjukkan kejayaannya berkat kegigihan pihak-pihak terkait dan para produsen dalam melestarikan warisan luhur nenek moyang kita. Upaya-upaya yang dilakukan antara lain melalui: pameran dalam skala lokal, regional, nasional dan internasional, pendampingan dan pemberian bantuan modal kepada UMKM/IKM/ dan klaster pengrajin batik, penerbitan surat edaran tentang kewajiban pemakaian batik bagi siswasiswa dan PNS pada hari-hari tertentu,” jelasnya.Gubernur berharap kegiatan ini dapat membantu mempromosikan produk batik Jawa Tengah yang berkualitas ke pasar global. Hal ini penting untuk menunjukkan bahwa Jawa Tengah masih menjadi ikon penghasil batik yang diperhitungkan baik di tingkat nasional maupun internasional. “Oleh karena itu, saya minta kesempatan ini tidak di sia-siakan begitu saja, tetapi hendaknya menjadi motivator bagi semua pihak terkait untuk tetap mengembangkan kreatifitas dan inovasi serta kualitas produk batik Pekalongan pada khususnya dan Jawa Tengah pada umumnya, sehingga prospek industri batik Jawa Tengah menjadi lebih baik,” paparnya. (*)

Jumat, 01 Mei 2009

Batik dari Bahan Kertas Plastik


SETELAH sukses mempopulerkan batik jens. Kali ini seniman batik Pekalongan, Harris Riyadi meluncurkan karya terbarunya berupa batik dari bahan kertas plastik.Pria berkumis tebal yang ditemui di arena Pekan Batik Internasional (PBI) menjelaskan, batik bagi orang Pekalongan tidak bisa lepas dari kreativitas. "Makanya dalam PBI ke-2 ini, saya memamerkan batik dari bahan kertas plastik," ucapnya.Batik kertas plastik ini dipamerkan dalam PBI berbentuk box tempat cindera mata dan sandal, proses pembuatannya juga tidak ada unsur printing dan lukisnya. "Moment ini bagus dan harus dimanfaatkan, karena momen ini bisa menjadi kiblat batik kontemporer Indonesia," ujarnya.Haris juga menambahkan, penemuan media baru untuk membatik ini juga untuk kepentingan generasi berikutnya, mereka harus tahu bahwa batik mepunyai sejarah panjang, tentunya sesuai dengan tingkat kreativitas senimannya. (dur)

Pamerkan Sajadah Batik, dan Batik Motif Gradasi


IKUT memeriahkan ajang Pekan Batik Internasional (PBI) selama seminggu di Kawasan Jalan Jeyatu, Paguyuban Pengrajin Batik Kota Pekalongan memamerkan produk unggulannya di sebelah selatan GOR Jetayu.Diantara yang dipamerkan adalah baju hem batik dengan berbagai motif, kain batik, sajadah batik tulis dari bahan mori sutra, serta batik dengan motif gradasi.
Meski dijual dalam event PBI, namun harga batik yang dijual Paguyuban Pengrajin Batik Kota Pekalongan tidak terlalu mahal.
Penjaga stand, Subhi Subekti Fatah mengatakan, PBI memiliki peranan penting dalam mempromosikan batik kepada masyarakat global. "Karena tidak ada perusahaan batik yang mampu bertahan bila perusahaan tersebut tidak mampu memasarkan atau menjual barang-barang yang dihasilkan," ucapnya.
Makanya dalam PBI ini, lanjut Uki Fatah-sapaan akrabnya, dirinya bersama peguyuban batik Pekalongan memanfaatkan kesempatan emas untuk menjual produk-produk unggulan. "Alhamdulilah, sudah ada yang laku," ujarnya.
Campur tangan pemerintah dalam bidang promosi maupun sebagai fasilitator pengembangan batik, kata Uki Fatah, dinilai sangat tepat dalam usaha mempertahankan dan meningkatkan pembelian batik ditingkat konsumen, sehingga cita-cita untuk menduniakan Pekalongan melalui Batik maupun produk-produk yang berkaitan dengan usaha perbatikan dapat terlaksana ditengah persaingan bisnis yang semakin kompetitif. "Kita berharap Kota Pekalongan menjadi kota yang benar-benar tetap hidup dan berkembang di tengah gejolak krisis." (dur)

Kompor Canggih Solusi Konversi


TAK lama lagi di Kota Pekalongan akan diberlakukan konversi (peralihan) dari minyak tanah ke gas. Akibatnya minyak tanah (mitan) akan semakin langka keberadaannya. Hal inilah yang dicemaskan banyak pihak, terutama para perajin batik atau sejenisnya.
Mengapa? karena produktivitas mereka sangat bergantung pada mitan. Namun kini warga Kota Pekalongan tak perlu risau. Pasalnya kini telah ditemukan sebuah kompor canggih, yakni kompor Bio Ethanol yang bahan bakarnya dibuat dari singkong beracun atau singkong genderuwo.Selain singkong, Bio Ethanol juga bisa dibuat dari tetes tebu, biji jarak, bahkan kulit pisang atau bonggol jagung dan nanas. Hal ini seperti yang diungkapkan Irawan, koordinator kompor Bio Ethanol saat ditemui Radar di GOR Jetayu tempat dilangsungkannya acara Pekan Batik Internasional (PBI). "Cara membuat bahan bakarnya sangat mudah dan ramah lingkungan. Tinggal saya ajari sebentar, bisa dipraktikan langsung di rumah," terangnya.Kompor inilah yang bisa dijadikan alternatif pilihan dalam menghadapi konversi beberpa bulan ke depan. Sehingga para perajin batik tak perlu was-was lagi dalam menghadapinya. "Bukan hanya untuk membatik, kompor ini juga bisa digunakan sebagaimana kompor biasa seperti untuk kebutuhan memasak," terangnya.Hal ini disambut baik oeh Ella, Sekertaris Kampoeng Batik Kauman. Dirinya bahkan siap menjadi agen resmi kompor Bio Ethanol tersebut. "Saya langsung beli dan akan mencobanya di rumah. Saya juga siap menjadi agen untuk mendistribusikan kompor ramah lingkungan ini di Pekalongan," tandasnya. (*)

Negara Besar Berbasis Kreativitas

PEMERINTAH harus lebih mengembangkan kreativitas sehingga perekonomian di Indonesia akan lebih maju. Hal itu juga dilakukan oleh negara-negara besar di dunia, yang menitikberatkan ke usaha kecil dengan treys mengembangkan kreativitas. Demikian disampaikan Ketua Umum Dewan Koperasi Indonesia (Dekopin) Adi Sasono saat menjadi pembicara seminar Nasional Batik Nusantara dengan tema ‘Membuka peluang pasar ekspor batik nusantara melalui peningkatan keunggulan competitive di tengah krisis global’ di aula Setkot Pekalongan, kemarin.Diungkapkan pria kelahiran Pekalongan tersebut, salah satu bentuk kreativitas lokal adalah batik. “Sudah diakui di dunia, batik merupakan produk kreativitas bangsa Indonesia sejak dulu. Sekarang ini, batik terus berkembang. Kalau dulu hanya digunakan untuk pakaian bawahan wanita, sekarang sudah berkembang menjadi pakaian atas dengan berbagai model. Dan ini harus terus dikembangkan,” ucapnya seraya menjelaskan kunci pemasaran produk lokal adalah dalam negeri.Diakui Mantan Menteri Koperasi itu, selama ini usaha kecil terbentur dengan pembiayaan untuk produksi perdagangan. “Dan ini harus menjadi perhatian pemerintah dan perbankan untuk membantu kesulitan pendanaan dengan terus menggelontorkan bantuan dana ke usaha kecil, sehingga perekonomian di Indonesia semakin maju lagi,” paparnya.Sementara, Deputi Menteri Negara Bidang Pembiayaan, Agus Muharam yang juga menjadi pembicara dalam seminar tersebut lebih menyorioti kebijakan stimulus dan program pemerintah dalam rangka mengurangi dampak krisis keuangan global.Diakui Agus, krisis keuangan global diawal krisis keuangan di Amerika Serikat. “Ada beberapa hal yang mempengaruhi krisis keuangan global, di antaranya seperti besar kredit macet lembaga pembiayaan internasional membuatnya kekurangan likuiditas. Sementara krisis keuangan di Indonesia diikuti turunnya harga jual saham, turunnya nilai tukar rupiah, terjadi rasionalisasi di perusahaan, banyaknya pengangguran, dan turunnya daya beli masyarakat,” ucapnya.Sementara pengaruh krisis keuangan global pada industri batik adalah turunnya permintaan luar negeri maupun dalam negeri, masuknya produk dari China dan Malaysia serta adanya batik printing ikut menggusur batik tradisional.“Atas berbagai dampak krisis keuangan global stersebut, Presiden mengeluarkan 10 arahan. Di antaranya, semua kalangan diminta tetap optimis dengan kebijakan yang tepat dan kerja keras akan dapat menumbuhnya perekonomian dan lain,” ucapnya. (*)

Politeknik Pusmanu Pameran di PBI


IKUT memeriahkan ajang Pekan Batik Internasional (PBI) ke-2 di Kawasan Jalan Jetayu Kota Pekalongan, Politeknik Batik Pusmanu memamerkan segala kelebihannya di event tersebut.
Dalam pemeran di PBI, kampus pimpinan Drs Soni Hikmalul MSi menyuguhkan miniatur proses batik, memamerkan zat warna sintetis, zat warna alam, dan memperlihatkan enam canting ukuran dari terkecil sampai besar.
Tidak hanya itu, juga dipamerkan buku-buku bertema batik. Bahkan khusus hari pembukaan PBI, Kamis (30/4) akan didemontrasikan cara mengecap batik.
Direktur Politeknik Pusmanu, Drs Soni Hikmalul MSi mengatakan, pihaknya sengaja ikut pameran untuk mengenalkan kampus Politeknik Pusmanu kepada masyarakat Internasional. Karena satu-satunya perguruan tinggi yang membuka jurusan teknik batik."Satu-satunya PT yang membuka jurusan teknik batik adalah Politeknik Pusmanu Pekalongan," bebernya.
Diterangkan, Politeknik Pusmanu Pekalongan menawarkan 3 program studi (prodi) unggulan. Pertama, prodi akuntansi perbankan syariah, program ini ditawarkan karena sekarang lagi dikembangkannnya sistem keuangan syariah di lembaga keuangan Indonesia dengan ditandai berdirinya Bank Mandiri Syariah, BNI Syariah, BNT Syariah dan Pegadaian Syariah. "Makanya sangat dibutuhkan lulusan yang sangat menguasai materi mengelola keuangan dengan system syariah," ungkapanya.
Prodi kedua adalah Teknik Batik. Batik ini dipilih karena mayoritas masyarakat Pekalongan bermata pencaharian sebagai perajin batik. Dari sektor batik ini, masyarakat Pekalongan mencari makan. Maka sudah seharusnya batik dilestarikan. Ditambah lagi, batik merupakan warisan leluhur.
"Kondisi ini didukung dengan kebijkan Pemerintah yang terus mengembangkan batik Ini potensi besar bagi lulusan Prodi Teknik Batik," ungkapnya.
Prodi lainnya adalah Manajemen Bisnis Internasional. Prodi ini dipilih, mengingat pengaruh globalisasi telah membuka sistem ekonomi dunia. Batas-batas teritorial sebuah negara sudah bukan halangan lagi untuk berinteraksi. Makanya, perlu disiapkan SDM yang berwawasan Internasional.
"Proram ini sangat pas, bila anda mempunyai cita-cita ingin meningkatkan bisnisnya ke luar negari. Atau, mungkin ingin bekerja sebagai tenaga profesional di negara asing," beber Soni Hikmalul.
Sedangkan Prodi terakhir, adalah Administrasi Kantor. Prodi ini, dipilih karena tuntutan zaman yang mengharuskan efisiensi dan roduktifitas dalam pengelolaan perkantoran disegala sektor, seperti Kantor Pemerintahan, Swasta, Kantor Binis ataupun non bisnis."Makanya program ini sangat dibutuhkan bagi yang mau menekuni dibidang administrasi kantor," pungkas Soni Hikmalul. (dur)

Senin, 27 April 2009

Museum Batik Koleksi Batik Berusia Ratusan Tahun

KEBERADAAN Museum Batik Indonesia yang terletak di Jalan Jatayu Kota Pekalongan, atau tepatnya menempati bekas Gedung Balaikota lama yang belum lama ini diresmikan oleh Presiden Susilo Barnbang Yudhoyono mempunyai berbagai ragam koleksi batik, mulai batik antik yang berusia ratusan tahun, hingga perpustakaan dan peta batik raksasa serta berbagai pernak pernik yang terkait dengan masalah batik.
Batik yang merupakan karya adiluhung bangsa Indonesia yang akan diakui oleh UNESCO (ilmu pendidikan kebudayaan ) PBB sebagai "Indonesian Heritage" atau warisan budaya Indonesia. Eksis hingga kini tidak terlepas dari dinamika yang senantiasa terjadi pada berbagai aspek, baik aspek teknis, estetis, normatif, ikonografis maupun aspek fungsional dan ekonomis.
Didalam Museum itu kita bisa melihat secara gamblang berbagai ragam batik. Ini tidak terlepas dari partisipasi para kolektor dan kurator batik yang menyumbangkan `simpananya' secara suka rela untuk museum. Ini tidak hanya dilakukan oleh kolektor tokoh-tokoh batik Pekalongan diantaranya seperti Hj Fatchiah putra empu kerajinan dan tenun Pekalongan H. Ridaka (A.Kadir), H. Dudung Alisyahbana, Romi Okta Birawa, H. Faturachman (Tukman), H. Fredy Wijaya serta beberapa tokoh batik lainnya.
Sedangkan kolektor batik lainnya Ibu Minarsih Soedarpo, Chea Panggabean, Graziela S. Rapjanidewi, Nian Djoemena, Syarifah Nawawi, Unzelda A Learnona. Ibu R.A Soeiatoen Darmais, Roos Roesmali, Tumbu Ramelan, Maria Moerad maupun Yayasan Batik Indonesia.
Tidak mengherankan jika ruang pamer cukup menarik dengan adanya koleksi batik-batik kuno yang mempunyai nilai sejarah. Disamping berbagai jenis batik dan berbagai daerah di Nusantara seperti jenis Cirebon, Lasem, Yogya, Solo, Pekalongan, Madura maupun batik luar Jawa lainya dengan corak dan ciri khas lainnya.
Tak kalah menariknya Kreasi batiK yang dihasilkan warga Pekalongan yang penuh kreatifitas corak yang dipajang di ruang pamer museum. Disamping adanya peta batik raksasa yang dibuat oleh Rusdiyanto, SH asal Kradenan yang menggunakan 59 corak sebagaimana ciri khas batik daerah.
Bahkan peta batik ini dicatat MURI karena memecahkan rekor di Indonesia. Keberadaan Museum batik tidak hanya menampilkan display batik saja, tetapi juga dipajang alat-alat peraga pembuat batik baik canting, cap maupun tempat nglorot batik dan perlengkapannya hingga kompor dan wajan tempat malam untuk bahan membatik. Disisi lain juga dilengkapi ruang perpustakaan yang berisi ratusan buku mengenai perbatikan baik cetakan dalam maupun luar negeri. sehingga pengunjung bisa dengan mudah melihat sejarah perkembangan batik secara jelas. Bahkan kedepan Museum ini akan dilengkapi dengan sistem IT guna mendukung para pengusaha batik dalam proses eksport dan import serta menghak patenkan. (abdurrahman)

PBI, Dishubpar Siapkan Karnaval Batik


Untuk memeriahkan Pekan Batik Internasional (PBI) 2 di Kota Pekalongan yang akan diselenggarakan pada 29 April hingga 3 Mei mendatang, Dinas Perhubungan dan Pariwisata (Dishubpar) mempersiapkan kegiatan karnaval batik meliputi kendaraan hias dan parade busana batik.Dalam acara tersebut akan dihadiri wisatawan domestik juga akan dihadiri tamu manca negara.Kepala Bidang Pariwisata Dishubpar, Drs Doyo Budi Wibowo MM mengatakan, mendekati pelaksanaan PBI mendatang, pihaknya sekarang telah melakukan berbagai persiapan kegiatan agenda dua tahunan tersebut. "Pelaksanaan kegiatan ini sebenarnya dilakukan oleh Dinas Perindustrian Perdagangan dan Koperasi (Disperindagkop). Kami mempersiapkan berbagai event yang berkaitan dengan pariwisata, seperti karnaval," terang Doyok.Disebutkan, pada PBI ini, Event Organizer (EO) didatangkan dari Jakarta, mengingat kegiatan tersebut bekerjasama dengan Pemerintah Pusat. "EO dipilih oleh pusat, mereka yang nantinya akan melakukan berbagai penataan acara di Kota Pekalongan," ujarnya.Event promosi batik akbar tersebut akan digelar secara meriah dengan berbagai agenda kegiatan pendukung, seperti work shop batik, fashion show dan beberapa pameran batik.Sementara, acara difokuskan di kawasan Jalan Jetayu yang merupakan lingkungan benda-benda cagar budaya.Lebih lanjut dijelaskan, pergelaran Pekan Batik Internasional (PBI) akan dibuka oleh menteri dan dihadiri tamu luar negeri. "Sekarang ini yang sudah ada konfirmasi dari kedutaan, ada empat negara akan hadir pada kegiatan ini, tapi kami belum jelas negara-negaranya," kata Doyo.Pihaknya berharap, dengan terselenggaranya agenda rutin dua tahun sekali PBI di Kota Batik, dapat lebih memopulerkan batik sebagai budaya Indonesia. Karena itu, pelaksanaan tahun ini mengambil tema batikku, batik kita, batik dunia. (dur)

UNTUK memeriahkan Pekan Batik Internasional (PBI) 2 di Kota Pekalongan yang akan diselenggarakan pada 29 April hingga 3 Mei mendatang, Dinas Perhubungan dan Pariwisata (Dishubpar) mempersiapkan kegiatan karnaval batik meliputi kendaraan hias dan parade busana batik.Dalam acara tersebut akan dihadiri wisatawan domestik juga akan dihadiri tamu manca negara.Kepala Bidang Pariwisata Dishubpar, Drs Doyo Budi Wibowo MM mengatakan, mendekati pelaksanaan PBI mendatang, pihaknya sekarang telah melakukan berbagai persiapan kegiatan agenda dua tahunan tersebut. "Pelaksanaan kegiatan ini sebenarnya dilakukan oleh Dinas Perindustrian Perdagangan dan Koperasi (Disperindagkop). Kami mempersiapkan berbagai event yang berkaitan dengan pariwisata, seperti karnaval," terang Doyok.Disebutkan, pada PBI ini, Event Organizer (EO) didatangkan dari Jakarta, mengingat kegiatan tersebut bekerjasama dengan Pemerintah Pusat. "EO dipilih oleh pusat, mereka yang nantinya akan melakukan berbagai penataan acara di Kota Pekalongan," ujarnya.Event promosi batik akbar tersebut akan digelar secara meriah dengan berbagai agenda kegiatan pendukung, seperti work shop batik, fashion show dan beberapa pameran batik.Sementara, acara difokuskan di kawasan Jalan Jetayu yang merupakan lingkungan benda-benda cagar budaya.Lebih lanjut dijelaskan, pergelaran Pekan Batik Internasional (PBI) akan dibuka oleh menteri dan dihadiri tamu luar negeri. "Sekarang ini yang sudah ada konfirmasi dari kedutaan, ada empat negara akan hadir pada kegiatan ini, tapi kami belum jelas negara-negaranya," kata Doyo.Pihaknya berharap, dengan terselenggaranya agenda rutin dua tahun sekali PBI di Kota Batik, dapat lebih memopulerkan batik sebagai budaya Indonesia. Karena itu, pelaksanaan tahun ini mengambil tema batikku, batik kita, batik dunia. (dur)

Pekan Batik Internasional Bakal Meriah

PELAKSANAAN Pekan Batik Internasional (PBI) 2 di Kota Pekalongan, kawasan Jalan Jetayu dipastikan bakal meriah dibanding PBI tahun lalu.
Ini karena bakal dikunjungi tamu-tamu luar negeri, sebut saja dari Negara Peru, Myanmar, Nigeria dan Suriname. Bahkan dalam stand batik, negara yang sudah menyatakan menjadi peserta display batik dari Jepang dan Thailand. Sementara yang ikut expo dan menjual produknya dari Malaysia, Singapura, dan Philipina.Disamping itu, sebelas Pemerintah Provinsi dan dua belas Pemkab/Kota sudah menyatakan akan ikut expo batik. Belum ditambah peserta dari pengusaha batik Pekalongan sekitarnya,
Ketua Panitia PBI, Drs Dwi Arie Putranto MM yang menggelar konfrensi pers membenarkan hal tersebut. "PBI akan meriah karena banyak negara yang ikut dalam PBI," terangnya.
Tidak hanya terlihat dari peserta maupun pengunjung PBI yang membuat meriah, kata Pak Arie-sapaan akrabnya, dalam materi acara juga dibuat lebih meriah dan bernuansa Internasional. Diantaranya Gala Dinner, Fashion Show, Karnaval, dan Fashion on the Road. Serta juga forum bisnis, dan pentas seni."Bahkan dalam acara PBI, akan ada penobatan duta batik. Dalam hal ini dipilih Dani Dahlan, seorang putri Indonesia," lanjutnya.
Kepala Dinas Perindustrian Perdagangan dan Koperasi (Disperindagkop), Drs Slamet Prihantono MM menambahkan, menjelang pelaksanaan PBI sudah mulai dilakukan penataan. Pihaknya juga tengah mempersiapkan pedagang yang akan mengisi kedai-kedai klasik dari bambu tersebut.
Gapura yang telah dipasang di tambah kedai-kedai stand di pinggir jalan membuat aktivitas jalan terasa ramai. Kegiatan itu akan dilaksanakan sampai pada saat hari H, 29 April mendatang. Menurut Slamet Prihantono, untuk meramaikan PBI, pihaknya menyiapkan 70 stand bagi pedagang makanan dan suvenir di sekitar Jalan Jetayu. ”Semua pedagangnya sudah didata mulai dari Pekalongan sampai Pemalang. Jadi nanti kuliner khasnya ada soto, tauto, garang asem dan nasi grombyang Pemalang,” ungkapnya. (dur)

Minggu, 26 April 2009

PBI, Dishubpar Siapkan Karnaval Batik

Untuk memeriahkan Pekan Batik Internasional (PBI) 2 di Kota Pekalongan yang akan diselenggarakan pada 29 April hingga 3 Mei mendatang, Dinas Perhubungan dan Pariwisata (Dishubpar) mempersiapkan kegiatan karnaval batik meliputi kendaraan hias dan parade busana batik.Dalam acara tersebut akan dihadiri wisatawan domestik juga akan dihadiri tamu manca negara.Kepala Bidang Pariwisata Dishubpar, Drs Doyo Budi Wibowo MM mengatakan, mendekati pelaksanaan PBI mendatang, pihaknya sekarang telah melakukan berbagai persiapan kegiatan agenda dua tahunan tersebut. "Pelaksanaan kegiatan ini sebenarnya dilakukan oleh Dinas Perindustrian Perdagangan dan Koperasi (Disperindagkop). Kami mempersiapkan berbagai event yang berkaitan dengan pariwisata, seperti karnaval," terang Doyok.Disebutkan, pada PBI ini, Event Organizer (EO) didatangkan dari Jakarta, mengingat kegiatan tersebut bekerjasama dengan Pemerintah Pusat. "EO dipilih oleh pusat, mereka yang nantinya akan melakukan berbagai penataan acara di Kota Pekalongan," ujarnya.Event promosi batik akbar tersebut akan digelar secara meriah dengan berbagai agenda kegiatan pendukung, seperti work shop batik, fashion show dan beberapa pameran batik.Sementara, acara difokuskan di kawasan Jalan Jetayu yang merupakan lingkungan benda-benda cagar budaya.Lebih lanjut dijelaskan, pergelaran Pekan Batik Internasional (PBI) akan dibuka oleh menteri dan dihadiri tamu luar negeri. "Sekarang ini yang sudah ada konfirmasi dari kedutaan, ada empat negara akan hadir pada kegiatan ini, tapi kami belum jelas negara-negaranya," kata Doyo.Pihaknya berharap, dengan terselenggaranya agenda rutin dua tahun sekali PBI di Kota Batik, dapat lebih memopulerkan batik sebagai budaya Indonesia. Karena itu, pelaksanaan tahun ini mengambil tema batikku, batik kita, batik dunia. (dur)

Selasa, 03 Maret 2009

Usaha yang Sudah Turun-Temurun

INDUSTRI kerajinan kulit di Desa Masin Kecamatan Warungasem, ternyata usaha yang sudah turun-temurun. Menurut Kasie Pemerintahan Desa Masin, Casiro bahwa industri kerajinan kulit di desanya sudah ada sekitar tahun 60-an."Keahlian para perajinnya merupakan warisan turun temurun," ucapnya.
Produk dari kerajinan kulit, terang Casiro, berupa ikat pinggang, dompet, serta produk lainnya. Komoditi produknya dipasarkan untuk memenuhi kebutuhan lokal, juga ke daerah lain.
Diantara upaya pemerintah untuk mengembangkan sentra industri kerajinan kulit ini dengan mengikutkan karya ke pameran-pameran. "Dibandingkan produk kerajinan kulit dari daerah lain, produk dari Desa Masin kualitas dan mutunya lebih baik. Karena proses penyamakannya halus," kata Casiro.
Edi, salah satu perajin kulit berlabel 'Putra Room' yang menempati kios di Jalan Raya Masin, menuturkan keahliannya membuat kerajinan kulit didapatnya dari orangtua. Proses pembuatan komoditi ini sangat sederhana.
Ikat pinggang misalnya, diawali dengan pemotongan, pengecatan, pembuatan ukiran, jahit, terakhir pemasangan gesper. Satu lembar kulit bisa menghasilkan ikat pinggang sekitar 12 buah. Sisa-sisa kulit tidak lantas dibuang. "Kita buat dompet," ujar Edi. Bahan baku kulit ia beli dari penyamak Rp 50 ribu per kilo. "Yah kita bisa ambil untuk setengahnya lah," ujar Edi.
Dalam satu bulan, sedikitnya Edi mampu menerima pesanan pembuatan ikat pinggang sebanyak 200-300 buah. Sejauh ini Edi masih memproduksi sebatas pesanan. Edi mengaku tidak berani menyuplai kerajinan kulit dalam jumlah besar karena harus bersaing dengan produk imitasi yang marak beredar di pasaran. Hal ini pula yang membuatnya khawatir akan kerajinan kulit di masa mendatang.
Lalu bagaimana soal harga? Kerajinan kulit Masin ditawarkan dengan harga terjangkau. Untuk sabuk wanita ditawarkan mulai Rp 35 ribu hingga Rp 40 ribu, dompet pria Rp 25 ribu, dompet wanita Rp 40 ribu, sedangkan jacket kulit mencapai ratusan ribu rupiah.
Sekedar informasi, Desa Masin terletak 8 kilometer dari jalur pantura Semarang-Surabaya. Lokasi ini bisa dijangkau dengan kendaraan pribadi maupun transportasi massal sejenis angkudes jurusan Pekalongan-Warungasem-Bandar dengan tarif Rp 2 ribu per orang.
Desa seluas 75 ribu hektar ini menjadi salah lokasi andalan pemerintah Kabupaten Batang karena kerajinan kulitnya. Perkembangan industri kerajinan kulit ini juga tidak terlepas dari dukungan industri penyamakan kulit sebagai penyuplai bahan baku.
Data Pemerintah Kabupaten Batang menyebutkan di desa berpenduduk sekitar 3 ribu jiwa ini terdapat 16 unit usaha dan total produksi 1,254 juta buah per tahun. Para perajin penyamakan kulit ini tergabung dalam Koperasi PKM (Penyamak Kulit Masin). Produk yang dihasilkan perajin antara lain sepatu, sandal, dompet, tas, ikat pinggang dan jacket. Yang menarik, kerajinan kulit Masin terdapat ukiran-ukiran berbagai motif. (*)

Perajin Batik Pabean Bangkit


CERAHNYA cuaca di Kota Pekalongan diikuti pula cerahnya hati para perajin batik di Kelurahan Pabean, Kecamatan Pekalongan Utara. Aktivitas perajin batik di sana mulai bangkit.
Mengingat sebelumnya, para perajin batik tidak bisa membuat batik karena cuaca selau mendung. Terlebih di daerah tersebut meruapakan daerah rawan banjir dengan tingkat keparahan cukup tinggi. "Sudah seminggu kami mulai membatik. Ya bahagia mas, sudah mulai cerah cuacanya. Jadi bisa langsung menjemur batik," ungkap Sumrotun, salah seorang perajin yang memiliki 20 karyawan ini. Dijelaskan, aktivitasnya sempat lumpuh selama 5 bulan saat daerah tersebut terus menerus diguyur hujan. "Ya...iya kalau nggak ada matahari kita ngenes (sedih-red). Sudah lima bulan kami nganggur karena gak ada matahari," terangnya.
Hal senada juga dikatakan H Nasir, Ketua Paguyuban Batik Pabean. Saat ini ratusan buruh batik sudah kembali bekerja seperti semula. Di daerahnya terdapat sebanyak 75 perajin batik. Bisa dibayangkan berapa banyak tenaga kerja yang kembali mendapat pekerjaannya setelah sekian lama berdiam diri di rumah. "Rata-rata setiap buruh batik digaji Rp 10.000 per hari. Jadi dengan cerahnya cuaca, bukan hanya aktivitasnya saja yang pulih, tetapi juga perputaran uang kembali bergulir," tandasnya.Mereka mengharapkan cuaca seperti ini bisa berlangsung terus-menerus. Sehingga warga Pabean tetap memiliki penghasilan setiap harinya. (*)

Rabu, 25 Februari 2009

Batik Asti Diambil dari Ashadi dan Tutik


BATIK ASTI yang beralamat di Pesindon III/5 A, mungkin sebagian masyarakat Pekalongan sudah mengenalnya. Namun, apa arti 'Asti' dan latar belakang hingga dinamakan Batik Asti. Mungkin internal keluarga dari produsen Batik Asti saja yang mengetahui.
Ketika pemilik Batik Asti, Tutik Susetiowaty dihubungi Radar, Selasa (23/9) mengatakan, Asti diambil dari nama suaminya Ashadi, dan dirinya. "Jadi, kalau Ashadi digabung dengan Tutik disingkat menjadi Asti," ucapnya tersenyum.
Usaha batiknya diberi nama Batik Asti, kata Bu Tutik-sapaan akrabnya, karena usaha memproduksi batik dirintis bersama-sama dengan suaminya. "Setelah saya nikah, saya bersama suami memproduksi batik sampai sekarang," kenangnya.
Namun mengenai seluk-beluk batik, Bu Tutik mengaku sudah mengenal sejak kecil. Itu karena orang tuanya adalah pengusaha batik juga. Sehingga batik, baginya bukan hal baru. Bahkan batik, bagi Tutik sudah 'mendarah daging'. Sebab dirinya dinafkahi dari usaha batik.
Bu Tutik mengakui, bila modal awal yang dipakai untuk memproduksi batik berasal dari bantuan orang tuanya. Dari sedikit demi sedikit, akhirnya menjadi besar seperti saat ini. "Alhamdulilah Mas (hingga usaha besar)," jawabnya.
Untuk menjadi yang sekarang ini, Bu Tutik mengaku tidak mudah. Meskipun orang tuanya adalah pengusaha batik, dan orang tua dari suami juga seorang pengusaha batik. Namun usaha yang dirintis bersama suaminya dikerjakan berdua. "Jadi susah senang kami lakukan bersama," ungkapnya.**'Dibabarkan' Orang Lain**
Bu Tutik menjelaskan, kalau awal-awal usaha batik, semuanya dikerjakan olehnya dan suami. Seiring dengan perjalanan waktu, kini untuk proses produksi batik dibabarkan (dikerjakan) orang lain. Namun untuk penjahitan menjadi baju batik ditangani sendiri. "Saya punya tukang menjahit. Jadi mereka yang menjahit."
Meski proses produksi batik dikerjakan orang lain, lanjut Bu Tutik, namun dirinya tidak bisa dibohongi mengenai kualitas kain batik. "Karena saya sejak kecil sudah berurusan dengan batik. Jadi memahami kualitas batik," ungkapnya.
Ditanya soal unggulan Batik Asti? Bu Tutik menyebut, bila unggulannya adalah hem batik. Kendati yang lain juga termasuk unggulan, seperti blus, dan selendang.
Soal harga? Bu Tutik menyebut, tergantung dari bahan yang dipakai, serta kerumitan dalam memproduksi batik. "Tentu kalau bahannya katun lebih murah bila dibandingkan dengan sutra. Kalau sutra lebih mahal," tukasnya.
Sedangkan mengenai pemasarannya? Bu Tutik mengaku menjual produk batiknya di Grosir Setono, Grosir Pantura, dan memasok produk di Semarang dan di Jakarta. "Selain menjual produk secara eceran di grosir, juga memasok produk batik di Semarang dan di Jakarta," tutur Bu Tutik mengakhiri pembicaraan. (Abdurrahman)

Konversi Gas Diundur, Pemkot Upayakan Mitan Lancar

Kelangkaan minyak tanah (mitan) yang terjadi beberapa waktu lalu di Kota Pekalongan tidak hanya meresahkan warga, namun juga menghambat produksi batik pada perajin batik baik dalam produksi skala besar maupun kecil.Meski kini pasokan mitan sudah berjalan normal, namun untuk mengantisipasi kelangkaan terulang kembali, Pemkot Pekalongan menghimbau kepada para perajin batik skala kecil agar mendaftarkan usahanya tersebut ke Kantor Dinas Perdagangan, Perindustrian dan Koperasi (Disperindakop) dengan tujuan untuk mendapatkan jatah mitan. Antisipasi ini menyusul beredarnya kabar jika konversi dari mitan ke gas akan diundur. Pernyataan ini diungkapkan oleh Wakil Wali Kota Pekalongan, H. Abu Almafachir, kemarin.Menurutnya, konversi gas yang akan dilakukan mulai Mei mendatang dirasa belum matang. Sebab hingga saat ini belum satupun SPBE yang didirikan. Sedangkan sosialisasi untuk konversi gas akan dilakukan Maret sampai April nanti. Almafachir mengungkapkan saat ini ada ribuan perajin batik skala kecil yang ada di Pekalongan. "Dari ribuan perajin batik, terhitung hanya 616 perajin saja yang baru terdaftar di Disperindakop," ujarnya.Lebih lanjut Almafachir mengatakan, himbauan ini dikhususkan bagi perajin batik yang usahanya tergolong kecil. "Kami fokus pada perajin batik kecil-kecilan," imbuhnya.Untuk itu Ia meminta kepada pihak Disperindakop agar menurunkan petugas ke perkampungan untuk mendata perajin batik dengan usaha skala kecil. (*)

Jumat, 20 Februari 2009

Kreasi Helm Batik


TAUFIK TAROJI, warga Banyurip Alit Kecamatan Pekalongan Selatan, tak kehabisan ide untuk
mengkreasikan motif batik dipadukan dengan helm. Setelah sekitar September tahun lalu, kenaikan harga kain mori melanda perajin batik di Kota
Pekalongan, pria yang sehari-hari pernah bekerja sebagai buruh batik ini merasa prihatin atas
kondisi tersebut. Pasalnya, melambungnya harga mori dipasaran membuat para pengrajin batik
terpaksa mengurangi produksi pembuatan batik. Bahkan ada bos batik yang merumahkan buruhnya.Asal muasal terciptanya helm batik ini bermula saat dirinya 'wedangan' di warung dekat rumahnya.
"Waktu itu saya bilang daripada nganggur nggak mbatik mendingan mbatik di helm saja. Sejak itu saya mulai mempraktekkannya," terangnya. Untuk memproduksi helm batik, Taroji membeli helm dengan kondisi BS dan kemudian helm-helm tersebut diamplas dan dilukis motif batik. Kini dalam satu hari Ia bisa menghasilkan dua buah karya helm batik yang Ia jual dengan harga tujuh puluh lima ribu rupiah per helm. "Terus terang untuk saat ini saya kekurangan modal dan selain itu saya juga kesulitan dalam memasarkannya." terangnya.Ia berharap ke depan akan ada bantuan dari pihak pemkot atas usaha helm batiknya tersebut. (*)

Minggu, 15 Februari 2009

Lestarikan Batik Dengan Pendidikan




PEKALONGAN – Hari Sabtu (14/2) bertempat di Museum Batik Pekalongan diselenggarakan pertemuan pembahasan mengenai Pendidikan dan Pelatihan (Best Practice) Budaya Batik. Acara yang mengundang seorang narasumber yang sekaligus pakar budaya batik, Gaura Mancacarita Dipura, ini dibuka dengan sambutan dari Wali Kota Pekalongan, dr HM Basyir Ahmad. Selain itu, acara yang dilaksanakan dalam rangka persiapan penyelenggaraan Pendidikan dan Pelatihan (Best Practice) Budaya Batik Bagi Anak-anak Sekolah ini juga mengundang Iman Sucipto Umar, selaku Ketua Umum yayasan Kadin Indonesia.Adapun susunan acara yakni dengan dua sesi diskusi dan dilanjutkan dengan presentasi mengenai konsep nominasi pendidikan dan pelatihan budaya batik oleh Gaura. Gaura mengatakan, sebagai negara yang telah meratifikasi Konfensi Perlindungan Warisan Budaya Tak Benda (Convention On The Saveguarding IntangibleCultural Heritage), Indonesia harus melakukan langkah-langkah penyelamatan warisan budaya diantaranya dengan pembuatan inventori.Dalam rangka pembuatan inventori, saat ini Departemen Budaya dan Pariwisata (Depbudpar) sedang mengupayakan untuk memasukkan batik sebagai produk karya budaya ke dalam Peta Kebudayaan Indonesia.Sedangkan acara yang berlangsung di Museum Batik Pekalongan Sabtu lalu ini merupakan sebuah upaya untuk melestarikan batik melalui jalur pendidikan. "Dengan adanya pelatihan bagi anak-anak sekolah maka diharapkan ada generasi-generasi baru yang muncul, dan apabila hal ini dilakukan setiap tahun maka kelestarian batik akan tetap terjaga," ucap Gaura.Selain seminar, dalam acara tersebut juga dilakukan semacam pengenalan dan pelatihan batik kepada para siswa sekolah. Diantaranya kepada siswa TK Masyithoh dan siswa SMP 1 Pekalongan. Tampaknya pengenalan batik kepada para siswa mendapat respons yang positif. Terlihat mereka sangat asyik melakukannya seperti menyolet dan ngeblok kain mori dengan malam.Salah satu siswa SMP 1 Pekalongan mengaku di sekolah mereka juga mendapatkan pelajaran keterampilan batik. “Pelajaran batik sebagai mulok,” ujar salah satu siswa yang saat itu sedang mengerjakan proses nyolet. Saat ini yang sedang direncanakan oleh bangsa Indonesia adalah mendirikan sekolah khusus batik. Hal tersebut bisa berbentuk akademi atau sebagai salah satu jurusan pada lembaga pendidikan tinggi yang telah ada seperti Institut Seni Indonesia. (*)

Batik Dinominasikan Ke Unesco


SEBAGAI ikon dari Kota Pekalongan, batik diibaratkan sebagai urat nadi perekonomian terpenting yang mampu menghidupi ribuan orang yang menggantungkan hidupnya dari sektor ini. Batik di Pekalongan telah ada dan dikerjakan secara tradisional turun temurun sejak ratusan tahun yang lalu. Hingga pada saat ini batik telah menjadi identitas kota Pekalongan, maka tak heran apabila orang menyebut Kota Pekalongan maka langsung terasosiasikan dengan batik.Saat ini batik telah dinominasikan ke UNESCO sebagai salah satu warisan budaya tak benda yang diakui dunia dan sedang dalam proses penilaian oleh 6 negara anggota Subsudiary Body UNESCO. Pada proses pengajuan batik sebagai nominasi di UNESCO, peranan Gaura Mancacarita Dipura, seorang pemerhati budaya asal Australia ini mempunyai peranan yang besar. Sebagai seorang WNI, kecintaan Gaura terhadap Indonesia dan budayanya tidak diragukan lagi, termasuk kecintaannya terhadap batik. “Indonesia berkewajiban melakukan langkah-langkah dengan cara penyelamatan warisan budaya tak benda diantaranya dengan kegiatan-kegiatan yang bersifat pendidikan,” terang Gaura saat dijumpai di Museum Batik Pekalongan Hari Sabtu (14/2).Menurut Gaura, untuk memasukkan batik ke UNESCO, ada empat tahap test yang harus dilalui.“Saat ini batik Indonesia telah berhasil melewati 2 tahap test dan lolos, untuk selanjutnya menunggu 2 tahap selanjutnya,” ujar Pria asal negeri kanguru ini. Untuk melestarikan dan mengembangkan seni kerajinan batik, Gaura menghimbau agar adanya semacam pelatihan-pelatihan bagi anak-anak sekolah.“Ini adalah sebuah langkah penyelamatan batik dan sebagai cara untuk menumbuhkan kecintaan batik di kalangan anak-anak Indonesia.” tutur Gaura menutup pembicaraan. (*)

Jumat, 13 Februari 2009

Batik Pekalongan, antara Masa Lampau dan Kini


BATIK pekalongan bukan hanya terkenal di dalam negeri, tetapi juga terkenal di mancanegara. Batik pekalongan sejak lama diekspor ke sejumlah negara, antara lain Singapura, Thailand, dan Amerika Serikat. Sedemikian terkenalnya batik dari Pekalongan, Jawa Tengah sehingga jenis batik ini tidak berhenti hanya menjadi hasil kegiatan ekonomi, tetapi juga telah menjadi ikon wisata.
BATIK pekalongan menjadi sangat khas karena bertopang sepenuhnya pada ratusan pengusaha kecil, bukan pada segelintir pengusaha bermodal besar. Sejak berpuluh tahun lampau hingga sekarang, sebagian besar proses produksi batik pekalongan dikerjakan di rumah-rumah.
Akibatnya, batik pekalongan menyatu erat dengan kehidupan masyarakat Pekalongan yang kini terbagi dalam dua wilayah administratif, yakni Kota Pekalongan dan Kabupaten Pekalongan, Jawa Tengah. Batik pekalongan adalah napas kehidupan sehari-sehari warga Pekalongan. Ia menghidupi dan dihidupi warga Pekalongan.
Meskipun demikian, sama dengan usaha kecil dan menengah lainnya di Indonesia, usaha batik pekalongan kini tengah menghadapi masa transisi. Perkembangan dunia yang semakin kompleks dan munculnya negara pesaing baru, seperti Vietnam, menantang industri batik pekalongan untuk segera mentransformasikan dirinya ke arah yang lebih modern.
Gagal melewati masa transisi ini, batik pekalongan mungkin hanya akan dikenang generasi mendatang lewat buku sejarah.
FATHIYAH A Kadir, seorang pengusaha batik di Kota Pekalongan, mengatakan, pada awal tahun 1970-an hampir seluruh pekerja di unit usaha batik pekalongan adalah petani. "Jadi, mereka tukang batik sekaligus petani," ujarnya.
Ketika itu, pola kerja tukang batik masih sangat dipengaruhi siklus pertanian. Saat berlangsung masa tanam atau masa panen padi, mereka sepenuhnya bekerja di sawah. Namun, di antara masa tanam dan masa panen, mereka bekerja sepenuhnya sebagai tukang batik.
"Suasana kerja sangat diwarnai semangat keguyuban, semangat kekeluargaan," ungkap perempuan pengusaha itu.
Sebagaimana halnya motif batik pekalongan yang secara kontinu berubah seiring perjalanan waktu, suasana keguyuban atau kekeluargaan juga dirasakan telah berubah. "Terutama setelah keluarnya Undang-Undang tentang Tenaga Kerja," ungkap Fathiyah.
Lewat UU tersebut, pengusaha yang memiliki pekerja dalam jumlah tertentu harus mengikutkan pekerjanya dalam program Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek). Selain itu, UU yang sama juga memberi kesempatan bagi pekerja untuk mendirikan serikat pekerja sebagai alat perjuangan kepentingan mereka.
Aturan ini dinilai sebagai bentuk intervensi pemerintah yang merugikan pengusaha batik. Alasannya, pengusaha terpaksa membayar iuran Jamsostek dan mengizinkan pekerja untuk mendirikan serikat pekerja.
Pandangan semacam itu, menurut Ketua III Paguyuban Batik Pekalongan Totok Parwoto, masih banyak ditemui di kalangan pengusaha batik pekalongan. "Mereka melihat iuran Jamsostek sebagai beban. Padahal, justru dengan ikut serta dalam program Jamsostek, pengusaha menjadi terbantu. Jika terjadi sesuatu pada diri pekerja, tunjangan bisa diambilkan dari Jamsostek," katanya.
Totok mengungkapkan, masih banyak pengusaha batik pekalongan yang mengeksploitasi pekerja. Produk batik yang dihasilkan mencapai harga jutaan rupiah, namun kesejahteraan pekerja jauh di bawah batas kewajaran.
"Suatu waktu saya akan mengajak Anda ke suatu tempat usaha batik di Kelurahan Buaran, Kota Pekalongan. Pemilik tempat itu sangat memforsir pekerja. Batiknya laku sampai jutaan rupiah, tetapi pekerjanya hanya makan nasi bungkus, yang menurut saya, kurang layak untuk disajikan," ujar Totok.
ZAMAN telah berubah. Pekerja batik di Pekalongan kini tidak lagi didominasi petani. Mereka kebanyakan berasal dari kalangan muda setempat yang ingin mencari nafkah. Hidup mereka mungkin sepenuhnya bergantung pada pekerjaan membatik.
Tuntutan pekerja terhadap kesejahteraan yang lebih terjamin dipandang pengusaha sebagai bentuk perubahan zaman yang merugikan mereka. Suasana kekeluargaan sudah tidak ada lagi, suasana keguyuban sudah pupus.
Pengusaha semakin merasa tersudutkan karena pemerintah ternyata melindungi pekerja untuk membuat serikat pekerja dan mengharuskan pengusaha untuk ikut program Jamsostek.
"Kondisi ini semakin susah karena penjualan batik pekalongan anjlok setelah ada serangan bom di New York pada bulan September 2001, bom di Bali pada bulan Oktober 2002, dan terakhir terbakarnya Pasar Tanah Abang," ujar seorang pengusaha yang keberatan dengan UU Tenaga Kerja yang terbaru.
Belum lagi batik pekalongan kini menghadapi persaingan berat di dunia internasional. "Produk tekstil dari Vietnam dan Banglades terus mendesak pangsa pasar batik pekalongan. Padahal, produk yang mereka hasilkan bukan batik. Ini dikarenakan orang luar negeri sesungguhnya tidak peduli apakah jenis tekstil yang mereka beli itu batik atau bukan," ujarnya.
Apa yang dihadapi industri batik pekalongan saat ini mungkin adalah sama dengan persoalan yang dihadapi industri lainnya di Indonesia, terutama yang berbasis pada pengusaha kecil dan menengah.
Persoalan itu, antara lain, berupa menurunnya daya saing yang ditunjukkan dengan harga jual produk yang lebih tinggi dibanding harga jual produk sejenis yang dihasilkan negara lain. Padahal, kualitas produk yang dihasikan negara pesaing lebih baik dibanding produk pengusaha Indonesia.
Penyebab persoalan ini bermacam-macam, mulai dari rendahnya produktivitas dan keterampilan pekerja, kurangnya inisiatif pengusaha untuk melakukan inovasi produk, hingga usangnya peralatan mesin pendukung proses produksi.
Kompetisi yang kian ketat mengondisikan usaha kecil menengah untuk memperbaiki kinerja, sekaligus memperbaiki kualitas produk yang mereka hasilkan. Paradigma lama kerap menuding tuntutan perbaikan kesejahteraan pekerja sebagai kambing hitam terjadinya pembengkakan produksi.
Paradigma ini mengabaikan kualitas pekerjaan yang baik atau kreativitas untuk menghasilkan inovasi produk keluar dari pekerja yang sejahtera dan pekerja yang melaksanakan tugasnya dengan tenang.
Untuk bertahan di tengah kompetisi yang semakin ketat, pengusaha batik pekalongan sudah seharusnya mengadopsi paradigma baru dalam mengelola usaha mereka. Sebagaimana tersirat pada pandangan yang disampaikan Totok.
"Kualitas produk sangat ditentukan oleh pekerja. Program yang menguntungkan pekerja, seperti Jamsostek, sangat membantu pemberdayaan pekerja," ujarnya.
Hanya bersandarkan pada keunggulan upah pekerja yang murah sudah harus ditinggalkan pengusaha Indonesia, termasuk pengusaha batik pekalongan. Bersandarkan pada keunggulan berupa keunikan produk tampaknya juga sudah harus ditinggalkan.
"Pesaing kita semakin berat. Bayangkan, saat saya berkunjung ke Bangkok, saya melihat ternyata Thailand kini juga mampu membuat batik yang jauh lebih bagus daripada yang kita hasilkan," ungkap Totok.
BAGI pengusaha batik pekalongan, memasuki tahun 2004 adalah memasuki masa yang penuh kesulitan. Permintaan batik pekalongan dari segala penjuru di Indonesia anjlok drastis. Berkodi-kodi batik menumpuk di tempat pengerjaan karena lesunya permintaan.
"Ketika krisis moneter tahun 1997, batik pekalongan terpukul akibat kenaikan harga kain mori. Namun, dampak kenaikan harga kain mori cukup bisa diimbangi dengan penjualan ekspor batik pekalongan yang menguntungkan karena anjloknya nilai tukar rupiah terhadap dollar AS. Kondisi ini berbeda dengan sekarang. Nilai tukar rupiah sudah relatif stabil, tetapi permintaan sangat lesu," kata Direktur Pasar Grosir Setono, Kota Pekalongan, Hasanuddin.
Sejumlah pedagang batik di pasar grosir menuding penyelenggaraan Pemilihan Umum (Pemilu) 2004 sebagai penyebab menurunnya omzet penjualan batik pekalongan hingga 50 persen. Argumennya, orang menunda perjalanan ke pekalongan karena menunggu hingga rampungnya kampanye Pemilu 2004.
Akan tetapi, bagi Hasanuddin, lesunya penjualan batik pekalongan terkait erat dengan penurunan daya beli masyarakat. Alasannya, jika penjualan batik pekalongan lesu hanya dikarenakan Pemilu 2004, tentu pesanan batik dari luar Pekalongan, seperti Makassar dan Surabaya, relatif tidak mengalami kelesuan karena orang tidak perlu melakukan perjalanan ke Pekalongan.
"Pengusaha batik yang dulu berorientasi menjual produknya ke luar kota sekarang beramai-ramai berjualan di Pekalongan. Ini ditandai dengan melonjaknya permintaan kios di pasar grosir," ujar Hasanuddin.
Akan tetapi, usaha itu tampaknya tetap tidak membantu. Bertumpuk-tumpuk batik tetap saja tak terjual di tempat produksi. Karena itu, dari sekitar 100 usaha batik di daerah Kelurahan Buaran, misalnya, sekitar 25 persen di antaranya sudah meliburkan pekerja. "Penjualan macet. Bagaimana mereka bisa melanjutkan produksi?" ungkap Hasanuddin.
Redupnya usaha batik pekalongan, menurut Hasanuddin, juga ditandai dengan kian banyaknya penyewa kios di Pasar Grosir Setono yang membayar ongkos sewa dengan cek kosong. Ini nyaris tidak pernah ditemui pada masa sebelumnya.
"Padahal, penyewa kios itu tergolong pengusaha besar dan nilai sewa yang harus dibayarkan cukup kecil, hanya Rp 1 juta-Rp 2 juta. Saya kira, dalam kondisi normal, tidak mungkin pengusaha yang tergolong cukup mapan melakukan hal tersebut," kata Hasanuddin lagi.
Akan tetapi, peka terhadap tuntutan pasar dan meresponsnya dalam bentuk inovasi dibuktikan pengusaha batik pekalongan, Rusdiyanto, yang berhasil menyelamatkan usahanya dari terpaan krisis. "Kalau saja saya tidak memulai memproduksi batik serat nanas tiga tahun lalu, usaha batik saya mungkin juga sudah meliburkan pekerja sekarang," kata pria yang tempat usahanya berada di Kelurahan Setono, Kota Pekalongan, tersebut.
Batik serat nanas yang diproduksi Rusdiyanto memang tidak terpengaruh oleh terpaan krisis. Harga kain batik pekalongan berserat nanas dengan ukuran panjang 2,56 meter dan lebar 1,15 meter bisa mencapai Rp 1,5 juta-Rp 3 juta. Karena itu, orang yang membeli jenis batik ini tentunya mereka dengan kondisi keuangan yang nyaris tidak terjamah gempuran krisis.
Bahkan, Rusdiyanto mengaku saat ini kesulitan untuk memenuhi order. "Batik serat nanas yang saya produksi tidak pernah menumpuk. Baru jadi, langsung dibawa pembeli ke Jakarta atau Singapura," ungkapnya.
Menurut Totok Parwoto, harga batik serat nanas di Jakarta naik berkali-kali lipat dibandingkan saat harganya masih di Pekalongan. "Kain batik serat nanas yang harganya di Pekalongan Rp 3 juta bisa mencapai Rp 7 juta di Jakarta," ungkapnya.
Batik serat nanas memiliki harga yang mahal karena suplai kain serat nanas masih sangat sedikit. Saat ini pengusaha batik serat nanas di Pekalongan hanya bergantung pada dua penyuplai kain serat nanas, yakni dari Kabupaten Pemalang dan dari Pabrik Radika di Pekalongan.
Sedikitnya produsen kain serat nanas disebabkan tingkat kesulitan yang cukup tinggi dalam proses pemintalan serat nanas menjadi benang, yang selanjutnya ditenun menjadi kain. Padahal, di Pemalang, terutama di Kecamatan Belik, tanaman nanas melimpah ruah.
Selain itu, harga kain batik serat nanas sangat mahal karena jenis batik ini dipadukan dengan serat sutra. Padahal, batik sutra sendiri sudah tergolong sebagai batik yang mahal. "Belum lagi pembuatan batik serat nanas dilakukan dengan tangan atau termasuk batik tulis. Satu bulan, satu pekerja saya hanya menghasilkan satu kain batik serat nanas," kata Rusdiyanto.
Inovasi yang dilakukan Rusdiyanto bukan hanya terbatas pada penggunaan serat nanas. Pengusaha batik ini juga melakukan inovasi pada motif batik. "Saya menggunakan motif batik pekalongan kuno," ujarnya.
Motif batik pekalongan kuno adalah motif yang dipakai saat pertama kali batik pekalongan muncul. Motif ini biasanya berbentuk tentara Belanda atau orang Belanda dengan segala atributnya. Bahkan, tidak jarang motif itu juga menggambarkan tank.
Warna yang digunakan Rusdiyanto juga warna saat batik pekalongan pertama kali muncul, yakni warna yang natural, seperti coklat atau merah bata. Berbeda dengan warna batik pekalongan sekarang, yang disebut orang dengan warna ngejreng. "Kain batik serat nanas dengan motif kuno dan warna alam ternyata sangat disukai pembeli dari luar negeri," katanya. (*)

Kamis, 12 Februari 2009

Gas Sebagai Alternatif Produksi Batik


KONVERSI mitan ke gas untuk digunakan dalam produksi batik rupanya sudah mulai dilakukan oleh sebagian perajin batik di Pekalongan. Seperti Jazuli Nur, salah satu perajin batik yang ada di Kelurahan Kauman. Ia mengaku sudah menggunakan kompor gas untuk produksi batik yang Ia kelola. "Untuk sementara masih dua buah kompor gas saja. Ini kan baru uji coba. Untuk alternatif kalau-kalau mitan sulit didapat lagi," terang jazuli saat dijumpai Radar di rumahnya.
Jazuli mengaku untuk berproduksi batik menggunakan kompor gas, Ia membutuhkan dana awal sebesar 400 ribu untuk satu buah kompor gas. Dengan perincian harga kompor 250 ribu, tabung dan gas 150 ribu. "Kami menggunakan tabung gas ukuran 3 kg dan untuk 1 tabung gas bisa digunakan sampai 4 hari. Dengan isi ulang gas Rp 13 500.Jadi biaya operasional per harinya Rp. 3500,- saja. Ini lebih murah dibandingkan menggunakan mitan yang untuk satu kompor menghabiskan 1.5 liter per harinya," lanjut Jazuli lagi. Namun walaupun menggunakan gas dinilai sudah lebih murah, Jazuli berharap konstruksi yang sedang dilakukan oleh mahasiswa ITB dengan merubah titik api kompor gas, bisa menjadikannya jauh lebih irit lagi. "Katanya sih nantinya tabung 3 kg bisa digunakan berproduksi sampai 10 hari, kalau hal itu benar-benar terjadi ya sepenuhnya saya beralih ke gas." Jazuli yang mempunyai 20 karyawan ini mengaku tidak mempermasalahkan harga mitan maupun gas. Ia hanya memikirkan jangan sampai para pekerjanya itu tidak bekerja karena kelangkaan mitan maupun gas. "Saya nggak pernah mikir harga, yang penting mereka bisa kerja. Terus terang sayang sangat mengutamakan karyawan saya, karena kalau mereka tidak kerja kan kasihan," ucap pria setengah baya ini.Terkait dengan musim hujan dan banjir yang melanda Pekalongan, hal itu diakui oleh Jazuli telah menurunkan omset batik hingga 50%. "Untuk order tetap stabil namun Omset menurun karena keterlambatan pengiriman batik. Produksi batik memakan waktu lama kalau hujan dan banjir seperti kemarin. Tapi alhamdulillah konsumen maklum dengan kondisi tersebut," jelas Jazuli. Menurut Jazuli, selama musim hujan dan banjir yang terjadi beberapa waktu lalu, produksi batiknya tak pernah berhenti. Ia memanfaatkan ruangan yang sangat luas untuk mengangin-anginkan batik. "Nggak pernah sampai mandeg. Kalaupun ruangan sudah penuh, karyawan saya tetap kerja walaupun hanya 1/2 hari." Usaha batik yang dikelola Jazuli dalam satu hari bisa memproduksi batik 500 meter dengan omset perbulan sekitar 10.000 meter. (*)