Rabu, 01 Juli 2009

Batik Pekalongan, Antara Masa Lampau dan Kini

BATIK Pekalongan sejak lama diekspor ke sejumlah negara, antara lain Singapura, Thailand, dan Amerika Serikat. Sedemikian terkenalnya batik dari Pekalongan, Jawa Tengah sehingga jenis batik ini tidak berhenti hanya menjadi hasil kegiatan ekonomi, tetapi juga telah menjadi ikon wisata.
Batik Pekalongan menjadi sangat khas karena bertopang sepenuhnya pada ratusan pengusaha kecil, bukan pada segelintir pengusaha bermodal besar. Sejak berpuluh tahun lampau hingga sekarang, sebagian besar proses produksi batik pekalongan dikerjakan di rumah-rumah.
Akibatnya, batik Pekalongan menyatu erat dengan kehidupan masyarakat Pekalongan yang kini terbagi dalam dua wilayah administratif, yakni Kota Pekalongan dan Kabupaten Pekalongan, Jawa Tengah. Batik pekalongan adalah napas kehidupan sehari-sehari warga Pekalongan. Ia menghidupi dan dihidupi warga Pekalongan.
Meskipun demikian, sama dengan usaha kecil dan menengah lainnya di Indonesia, usaha batik pekalongan kini tengah menghadapi masa transisi. Perkembangan dunia yang semakin kompleks dan munculnya negara pesaing baru, seperti Vietnam, Malaysia dan China menantang industri batik Pekalongan untuk segera mentransformasikan dirinya ke arah yang lebih modern.
Gagal melewati masa transisi ini, batik Pekalongan mungkin hanya akan dikenang generasi mendatang lewat buku sejarah.
Fathiyah A Kadir, seorang pengusaha batik di Kota Pekalongan, mengatakan, pada awal tahun 1970-an hampir seluruh pekerja di unit usaha batik pekalongan adalah petani. "Jadi, mereka tukang batik sekaligus petani," ujarnya.
Ketika itu, pola kerja tukang batik masih sangat dipengaruhi siklus pertanian. Saat berlangsung masa tanam atau masa panen padi, mereka sepenuhnya bekerja di sawah. Namun, di antara masa tanam dan masa panen, mereka bekerja sepenuhnya sebagai tukang batik.
"Suasana kerja sangat diwarnai semangat keguyuban, semangat kekeluargaan," ungkap perempuan pengusaha itu.
Pengrajin Batik Pekalongan lainnya, Khusnul Khotimah mengatakan, apa yang dihadapi industri batik pekalongan saat ini mungkin adalah sama dengan persoalan yang dihadapi industri lainnya di Indonesia, terutama yang berbasis pada pengusaha kecil dan menengah.
Persoalan itu, antara lain, berupa menurunnya daya saing yang ditunjukkan dengan harga jual produk yang lebih tinggi dibanding harga jual produk sejenis yang dihasilkan negara lain. Padahal, kualitas produk yang dihasikan negara pesaing lebih baik dibanding produk pengusaha Indonesia.
Penyebab persoalan ini bermacam-macam, mulai dari rendahnya produktivitas dan keterampilan pekerja, kurangnya inisiatif pengusaha untuk melakukan inovasi produk, hingga usangnya peralatan mesin pendukung proses produksi.
Kompetisi yang kian ketat mengondisikan usaha kecil menengah untuk memperbaiki kinerja, sekaligus memperbaiki kualitas produk yang mereka hasilkan. Paradigma lama kerap menuding tuntutan perbaikan kesejahteraan pekerja sebagai kambing hitam terjadinya pembengkakan produksi.
Paradigma ini mengabaikan kualitas pekerjaan yang baik atau kreativitas untuk menghasilkan inovasi produk keluar dari pekerja yang sejahtera dan pekerja yang melaksanakan tugasnya dengan tenang.
Untuk bertahan di tengah kompetisi yang semakin ketat, pengusaha batik pekalongan sudah seharusnya mengadopsi paradigma baru dalam mengelola usaha mereka. Sebagaimana tersirat pada pandangan yang disampaikan Totok.
"Kualitas produk sangat ditentukan oleh pekerja. Program yang menguntungkan pekerja, seperti Jamsostek, sangat membantu pemberdayaan pekerja," ujarnya.
Hanya bersandarkan pada keunggulan upah pekerja yang murah sudah harus ditinggalkan pengusaha Indonesia, termasuk pengusaha batik pekalongan. Bersandarkan pada keunggulan berupa keunikan produk tampaknya juga sudah harus ditinggalkan.
"Pesaing kita semakin berat. Bayangkan, saat saya berkunjung ke Bangkok, saya melihat ternyata Thailand kini juga mampu membuat batik yang jauh lebih bagus daripada yang kita hasilkan," ungkap Totok.
BAGI pengusaha batik pekalongan, memasuki tahun 2004 adalah memasuki masa yang penuh kesulitan. Permintaan batik pekalongan dari segala penjuru di Indonesia anjlok drastis. Berkodi-kodi batik menumpuk di tempat pengerjaan karena lesunya permintaan.
"Ketika krisis moneter tahun 1997, batik pekalongan terpukul akibat kenaikan harga kain mori. Namun, dampak kenaikan harga kain mori cukup bisa diimbangi dengan penjualan ekspor batik pekalongan yang menguntungkan karena anjloknya nilai tukar rupiah terhadap dollar AS. Kondisi ini berbeda dengan sekarang. Nilai tukar rupiah sudah relatif stabil, tetapi permintaan sangat lesu," kata Direktur Pasar Grosir Setono, Kota Pekalongan, Hasanuddin.
Sejumlah pedagang batik di pasar grosir menuding penyelenggaraan Pemilihan Umum (Pemilu) 2004 sebagai penyebab menurunnya omzet penjualan batik pekalongan hingga 50 persen. Argumennya, orang menunda perjalanan ke pekalongan karena menunggu hingga rampungnya kampanye Pemilu 2004.
Akan tetapi, bagi Hasanuddin, lesunya penjualan batik pekalongan terkait erat dengan penurunan daya beli masyarakat. Alasannya, jika penjualan batik pekalongan lesu hanya dikarenakan Pemilu 2004, tentu pesanan batik dari luar Pekalongan, seperti Makassar dan Surabaya, relatif tidak mengalami kelesuan karena orang tidak perlu melakukan perjalanan ke Pekalongan.
"Pengusaha batik yang dulu berorientasi menjual produknya ke luar kota sekarang beramai-ramai berjualan di Pekalongan. Ini ditandai dengan melonjaknya permintaan kios di pasar grosir," ujar Hasanuddin.
Akan tetapi, usaha itu tampaknya tetap tidak membantu. Bertumpuk-tumpuk batik tetap saja tak terjual di tempat produksi. Karena itu, dari sekitar 100 usaha batik di daerah Kelurahan Buaran, misalnya, sekitar 25 persen di antaranya sudah meliburkan pekerja. "Penjualan macet. Bagaimana mereka bisa melanjutkan produksi?" ungkap Hasanuddin.
Redupnya usaha batik pekalongan, menurut Hasanuddin, juga ditandai dengan kian banyaknya penyewa kios di Pasar Grosir Setono yang membayar ongkos sewa dengan cek kosong. Ini nyaris tidak pernah ditemui pada masa sebelumnya.
"Padahal, penyewa kios itu tergolong pengusaha besar dan nilai sewa yang harus dibayarkan cukup kecil, hanya Rp 1 juta-Rp 2 juta. Saya kira, dalam kondisi normal, tidak mungkin pengusaha yang tergolong cukup mapan melakukan hal tersebut," kata Hasanuddin lagi.
Akan tetapi, peka terhadap tuntutan pasar dan meresponsnya dalam bentuk inovasi dibuktikan pengusaha batik pekalongan, Rusdiyanto, yang berhasil menyelamatkan usahanya dari terpaan krisis. "Kalau saja saya tidak memulai memproduksi batik serat nanas tiga tahun lalu, usaha batik saya mungkin juga sudah meliburkan pekerja sekarang," kata pria yang tempat usahanya berada di Kelurahan Setono, Kota Pekalongan, tersebut.
Batik serat nanas yang diproduksi Rusdiyanto memang tidak terpengaruh oleh terpaan krisis. Harga kain batik pekalongan berserat nanas dengan ukuran panjang 2,56 meter dan lebar 1,15 meter bisa mencapai Rp 1,5 juta-Rp 3 juta. Karena itu, orang yang membeli jenis batik ini tentunya mereka dengan kondisi keuangan yang nyaris tidak terjamah gempuran krisis.
Bahkan, Rusdiyanto mengaku saat ini kesulitan untuk memenuhi order. "Batik serat nanas yang saya produksi tidak pernah menumpuk. Baru jadi, langsung dibawa pembeli ke Jakarta atau Singapura," ungkapnya.
Menurut Totok Parwoto, harga batik serat nanas di Jakarta naik berkali-kali lipat dibandingkan saat harganya masih di Pekalongan. "Kain batik serat nanas yang harganya di Pekalongan Rp 3 juta bisa mencapai Rp 7 juta di Jakarta," ungkapnya.
Batik serat nanas memiliki harga yang mahal karena suplai kain serat nanas masih sangat sedikit. Saat ini pengusaha batik serat nanas di Pekalongan hanya bergantung pada dua penyuplai kain serat nanas, yakni dari Kabupaten Pemalang dan dari Pabrik Radika di Pekalongan.
Sedikitnya produsen kain serat nanas disebabkan tingkat kesulitan yang cukup tinggi dalam proses pemintalan serat nanas menjadi benang, yang selanjutnya ditenun menjadi kain. Padahal, di Pemalang, terutama di Kecamatan Belik, tanaman nanas melimpah ruah.
Selain itu, harga kain batik serat nanas sangat mahal karena jenis batik ini dipadukan dengan serat sutra. Padahal, batik sutra sendiri sudah tergolong sebagai batik yang mahal. "Belum lagi pembuatan batik serat nanas dilakukan dengan tangan atau termasuk batik tulis. Satu bulan, satu pekerja saya hanya menghasilkan satu kain batik serat nanas," kata Rusdiyanto.
Inovasi yang dilakukan Rusdiyanto bukan hanya terbatas pada penggunaan serat nanas. Pengusaha batik ini juga melakukan inovasi pada motif batik. "Saya menggunakan motif batik pekalongan kuno," ujarnya.
Motif batik pekalongan kuno adalah motif yang dipakai saat pertama kali batik pekalongan muncul. Motif ini biasanya berbentuk tentara Belanda atau orang Belanda dengan segala atributnya. Bahkan, tidak jarang motif itu juga menggambarkan tank.
Warna yang digunakan Rusdiyanto juga warna saat batik pekalongan pertama kali muncul, yakni warna yang natural, seperti coklat atau merah bata. Berbeda dengan warna batik pekalongan sekarang, yang disebut orang dengan warna ngejreng. "Kain batik serat nanas dengan motif kuno dan warna alam ternyata sangat disukai pembeli dari luar negeri," katanya. (abdurrohman)

2 komentar:

  1. batik pekalongan merupakan batik pesisir yang kaya akan motif dan corak warna yang berani.
    maju terus batik pekalongan.

    BalasHapus
  2. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus