Kamis, 09 Juli 2009

Baru 4 Bulan, Sudah Rambah Pasar Luar Kota


MESKI usaha yang didirikan baru berumur 4 bulan. Namun sudah mampu merambah pasar luar Kota Pekalongan, yakni Semarang dan Jawa Barat. Bahkan kini lagi 'menjajal' untuk mengekspor ke luar negeri, rencanannya ke Malaysia.
Itulah usaha membuat baju muslim payetan dan bordir yang ditekuni Nabil Diab. Adik kandung Isteri Walikota Balgies Diab itu tertarik mendirikan usaha baju muslim payetan dan bordir, sebab usaha tersebut lagi booming. Namun bukan semata itu saja, yang utama karena Nabil Diab ingin menyalurkan hobinya dalam membuat baju muslim. "Sudah lama keinginan itu ada dalam hati saya. Namun baru realisasi 4 bulan yang lalu," ucapnya sembari menjelaskan, bila keluarganya 7 perempuan semua dan hanya dirinya yang laki-laki. Ketika membeli baju mesti dimusyawarahkan. Dari musyawarah itulah muncul kecintaan terhadap motif-motif baju.
Diantara produk baju muslim yang dibuat Nabil Diab berupa Abaya (gamis(, rok panjang, stelan rok and blus, dan kerudung bordir maupun kerudung payet. Harganya per unit mulai dari 60 Ribu, sampai yang tertinggi Rp 300 Ribu.
Modal usaha yang digunakan untuk mendirikan usaha, kata Nabil, sangat kecil sekali. Ia mempunyai filosofi, kalau usaha yang didirikan dari modal yang kecil maka akan menjadi besar."Kalau dari modal kecil kemudian menjadi besar, akan terasa nikmatnya. Makanya saya selalu memulai dari yang kecil," tandasnya.
Nabil menjelaskan, kain yang dipakai untuk baju muslim maupun kerudung mendatangkan dari Bandung. Kain yang dipakai adalah kain bahan halus. Hal itulah yang mungkin membedakan dengan baju muslim maupun kerudung ditempat lain. "Kami menggunakan bahan yang halus. Sehingga memberi rasa nyaman bagi pemakainya," ucapnya.
Selain memiliki keunggulan dari bahan kain yang halus, lanjut Nabil, keunggulan lainnya berupa pilihan motif yang banyak. Pembeli ditawari dengan motif-motif yang beragam. "Motif-motif itu saya yang bikin, bersama Isteri. Kami dalam membuat motif selalu mengikuti trend yang berkembang, dan menciptakan trend sendiri," ucapnya.
Untuk menggali inspirasi dalam menciptakan motif, akui Nabil, ia memanfaatkan segala media yang berhubungan dengan mode. Sebut saja majalah, internet serta surat kabar. "Setelah menemukan inspirasi, saya kreasi sendiri. Saya membuat satu model hanya dibikin satu motif," ucapnya.
Nabil menamakan usaha barunya NAB. NAB itupula yang digunakan sebagai merk dagang untuk baju muslim, dan kerudungnya. "NAB itu diambilkan dari nama saya Nabil Diab. Tujuannya untuk memudahkan menyebut nama," tandasnya.
Nabil mengaku, dari usahanya itu mampu menyerap tenaga kerja sebanyak 15 orang. Sebagian besar dari Kota Pekalongan sendiri. Dengan begitu, telah mendukung program Pemkot dalam rangka meminalisasi jumlah pangangguran di Kota Pekalongan. (dur)

50 Pekerjanya Perempuan Semua


BATIK SEKAR WANGI. Inilah merk dagang milik H Kadarisman, warga Kelurahan Sapuro Kecamatan Pekalongan Barat yang spesialis membuat batik tulis dari bahan sutra.
Kadarisman mengaku, sebelum membuat batik tulis dari bahan sutra. Dirinya membuat batik dari bahan katun. Kemudian bahan katun ditinggalkan, dan beralih ke bahan sutra sampai sekarang."Saya telah menekuni usaha batik sebelum 1981. Baru 1981, saya didaftarkan ke pemerintah untuk mendapatkan legalitas," ucap Alumnus Sekolah Tinggi Perbankan di Jakarta.
Kadarisman mengaku, usahanya yang sekarang mengalami penurunan produksi dibanding tahun lalu. Saat rezim Soeharto, usahanya mengalami masa keemasan antara tahun 1996 sampai 1997. Karyawannya ada 130 orang. Namun sekarang 50 orang saja sebagai dampak krisis ekonomi, persoalan gejolak ekonomi yang ditandai dengan naiknya harga kedelai, terigu dan minyak goreng.
Saat jaya-jayanya pula, pemasarannya tidak hanya lokal Indonesia saja. Melainkan diekspor ke luar negeri, yakni ke Malaysia dan Brunai Darussalam."Waktu itu ada 3 buyer yang mengekspor batik tulis saya. Namun kini sudah tidak lagi, bahkan satu diantara 3 perusahaan itu terpaksa dijual karena gulung tikar," ucapnya sembari menyebut saat jaya-jayanya, setiap bulan mengirim 600 potong batik tulis.
Namun sekarang batik sutranya dijual ke lokal saja di Jakarta, Palembang, dan Bandung. Untuk pemasarannya, kata Kadarisman, ditangani sendiri. Begitupula produksinya. Ia sekarang mempekerjakan 50 orang saja. Yang unik, dari 50 pekerjanya itu perempuan semua. "Perempuan itu mempunyai jiwa halus. Berbeda dengan laki-laki yang biasanya muncul sikap kasar. Meski begitu, ada juga laki-laki yang memiliki jiwa halus, seperti Iwan Tirta dan desainer yang lainnya," ucap penerima Upakarti dari Presiden Soeharto karena keberhasilannya melakukan pembinaan kepada usaha kecil.
Pekerja yang semuanya perempuan, lanjut Kadarisman, tidak hanya dilakukan dirinya. Saat ibunya masih hidup, juga mempekerjakan batiknya pada pekerja perempuan. "Sekarang menurun pada saya. Mulai dari pembatik, ngelorot sampai yang memberikan warna, semuanya ditangani perempuan," akuinya yang juga pernah menerima Upapradana dari Gubernur Jateng Ismail.
Disinggung tentang strategi dalam mempertahankan usahanya? Kadarisman mengaku, selalu berinovasi dalam menciptakan motif-motif. Dalam menggali inspirasi, ia memanfaatkan media yang ada. Hasilnya motif yang dihasilkan selalu berbeda, sesuai dengan perkembangan mode.
Disamping itu, Ia tetap mempertahankan warna batik, yakni warna marun (merah hati(. Warna marun itu merupakan ciri khas Batik Sekar Wangi.
Kadarisman menjelaskan, nama Sekar Wangi diilhami dari adanya merk batik 'Arum Dalu' yang artinya wangi bila malam hari. Batik Arum Dalu tidak lama bertahan, dan akhirnya gulung tikar. Dengan nama Sekar Wangi yang artinya mewangi sepanjang hari diharapkan batiknya tetap lancar, dan tidak 0mengalami hambatan pemasaran dan bahan baku. "Alhamdulilah sampai sekarang masih lancar," pungkas Kadarisman. (dur)

Dion Manfaatkan Lahan Kosong

TIDAK banyak orang pintar memanfaatkan lahan pekarangan rumah yang kosong menjadi lahan yang produktif. Namun Dedi Kurniadi SPdI, warga Kelurahan Kramatsari Kecamatan Pekalongan Barat mampu memanfaatkannya dengan membuat kolam untuk beternak lele.
Hasilnya menguntungkan, hanya 2 bulan. Lelenya yang berukuran 6 cm telah besar menjadi 14 cm. Untuk pakannya tidak sulit, dari sisa-sisa makanan, dan pur. Sehingga lebih hemat."Alhamdulilah sekarang sudah besar-besar," ucapnya.
Dion-sapaan akrabnya mengaku, usaha ini dilatarbelakangi dengan adanya lahan yang kosong. Daripada dibiarkan terlantar-lebih baik dimanfaatkan guna meningkatkan kesejahteraan keluarga. "Kalau panen hasilnya lumayan untuk menambah belanja keluarga, sekaligus meningkatkan gizi keluarga," ucapnya.
Mengenai pemasarannya, Dion mengaku tidak kesulitan. Sebab ada penampung yang siap menerima hasil panennya. "Sudah ada penampung," jawabnya.
Mengenai bibit, Dion juga tidak mengalami kesulitan. Sebab banyak dijual di Wiradesa. Begitupula pakannya banyak dijual dipasaran ikan. Yang menjadi masalah pakan instannya mahal.
Dion menambahkan, selain menghasilkan tambahan pendapatan. Sisi lain, juga memberikan rasa kenikmatan bagi batin. "Saat pikiran jenuh, ketika melihat ikan-ikan berlarian. Maka pikiran jenuh menjadi hilang," kata Dion. (dur)

Kamis, 02 Juli 2009

Lanjutkan Usaha Alm MC Zurkoni, Usaha Yang Ditekuni Ida S Ardiyanti


SETELAH ditinggal MC Zurkoni, aktivis Pekalongan yang meninggal dunia karena kecelakaan di Linggoasri Kabupaten Pekalongan. Isterinya, Ida S Ardiyanti melanjutkan usaha suami yang telah ditekuni sejak lama, yakni menjual produk batik di Pasar Grosir PPIP, Jalan Dr Wahidin nomor 102 Pekalongan.
Mbak Ida, sapaan akrabnya-yang ditemui Selasa (5/8) sedang menata koleksi produk batik. Ditempat kios batik bernama 'Batik AISY', ia tidak hanya menjual produk batik. Perempuan yang dikaruniai dua anak dari hubungan dengan MC Zurkoni, masing-masing Ais dan Ryan M.Zakwan Zr Febriyan juga menjual garment, busana muslim dan busana wanita. Bisa dibilang cukup lengkap.
Mbak Ida mengatakan, setelah ditinggal Abang (panggilan Almarhum MC Zurkoni), dirinya harus menggantikan posisi suaminya dalam mencukupi kebutuhan hidup untuk dua anak-anaknya. Apalagi Ais, anak pertama sudah duduk dibangku Sekolah Dasar. Tentunya membutuhkan biaya yang cukup banyak."Apalagi saya ingin, Ais bisa melanjutkan sekolah sampai perguruan tinggi. Makanya saya harus bekerja untuk menafkahi keluarga. Jadi bisa dikata sudah 2 tahun, saya menekuni usaha batik," ucapnya.
Mbak Ida mengaku, dirinya mengenal bisnis batik sejak Abangnya masih hidup. Namun waktu itu, ia hanya diberi tanggungjawab mengurus administrasi keuangan, dan mengambil batik dari saudara-saudaranya yang membuat batik bila Almarhum ada pesanan produk batik. Karena kalau ingin ikut turun secara total ke bisnis batik, Abangnya selalu melarang. Alasannya agar lebih fokus mengurus Ais, yang saat itu masih Balita.
Karena MC Zurkoni telah meninggal dunia, maka segala urusan, mulai mengambil batik sampai memasarkannya hanya dilakukan seorang. "Untungnya adik-adik saya membantu. Kalau ada kesulitan, saya dibantu, hingga tugas saya menjadi ringan," ucap Mbak Ida.
Kalau dahulu masih mengambil produk batik dari saudara-saudaranya yang memproduksi kain batik. Kini, usaha yang dipegangnya telah maju selangkah, yakni memproduksi batik sendiri. "Produk batik yang kami produksi, berupa batik sutra untuk baju kemeja, daster dan tas yang telah dimotif dari bahan blaco."
Sedangkan produk batik yang mengambil dari saudaranya, berupa kemeja dari katun, baju lengan panjang. Untuk motif-motif produk batiknya dinamis, mengikuti perkembangan zaman.
Ditanya harga? Mbak Ida mengaku harga-harga produk batiknya variatif, tergantung dari bahan yang digunakan. Tentunya kalau bahannya dari kain sutra harganya lebih mahal bila dibandingkan dengan bahan katun.**Yang Unik
Mbak Ida mengaku, yang membedakan kios 'Batik Aisy' dengan kios yang lain, bila kiosnya menyediakan tas yang telah dimotif dari bahan blaco. Motifnya sangat unik yakni motif etnik. Sedangkan pembuatan motifnya dengan cara dijahit.
Mbak Ida menceritakan, saat memulai usaha menjual produk batik, dirinya tidak diwarisi harta yang berlimpah. Melainkan semangat dan modal yang cukup. Semangat yang masih dikenang-itulah yang membuat dirinya berani sendiri memikul tanggung jawab sebagai Ibu, sekaligus kepala rumah tangga."Alhamdulilah, dari modal yang pas-pasan. Kini (modalnya) telah bertambah. Meski masih butuh untuk menambah koleksi produk batik," ucapnya, sembari siap bekerja sama dengan pihak manapun dalam penjualan produk batik.
Meski dibilang sebagai pemain baru dalam bisnis batik, Ida S Ardiyanti menyadari ada resiko dalam usaha menjual produk batik, salah satunya ketika produk batiknya diambil tidak dibayar. Almarhum pernah mengatakan, orang yang hidup di jalan raya kalau tidak ditabrak maka akan tertabrak. Maksudnya, orang yang bisnis batik harus siap-siap bila ketika batiknya diambil pembeli namun tidak dibayar. "Kalau ada pesanan batik tidak dibayar, tidak perlu kecewa. Tapi yakinlah, Allah pasti akan membukakan jalan solusi," kenangnya.**Atas Dorongan AnaknyaMbak Ida mengatakan, pasca ditinggal suaminya, maka dirinya harus menjual produk batik ke Jakarta dan Salatiga. Jaringan pemasaran tersebut sudah terbentuk saat Almarhum Zurkoni masih bisnis batik secara sambilan, karena aktivitasnya lebih banyak sebagai aktivis LSM."Serta sebagian lagi dibawa teman-teman untuk dijual ke daerah lain."
Ida S Ardiyanti mengaku, bila dirinya membuka kios di Pasar Grosir PPIP karena dorongan putra yang pertama, Ais. Meski masih kecil, anaknya mengatakan, ambilah kesempatan (membuka kios di Pasar Grosir PPIP) karena kesempatan tersebut tidak akan datang dua kali."Dengan niat Bimillah, saya membuka kios disini (Pasar Grosir PPIP). Alhamdulilah, kemarin sudah ada yang mampir untuk membeli produk batik," jelasnya lagi.
Yang membuatnya yakin lagi, Ais ikut menata produk-produk batik, garmen, maupun busana muslim Ternyata tampilan hasil penataan kios 'Batik Aisy' sesuai arahan Ais sangat rapi. "Saya menjadi senang bisa membuka kios disini, meski uang yang harus ku keluarkan tidak sedikit," pungkas Ida. (abdurrahman)

Industri 'Kelir Batik' Miliki Ciri Khas Warna Terang


INDUSTRI batik bisa tetap hidup karena memiliki nilai artistik. Muhammad Farid selaku pengrajin-sekaligus produsen batik memiliki ciri khas dalam warna produk batiknya yang terang, atau cerah.
Praktis saja, banyak pengusaha batik meminta jasa home industri 'Kelir Batik' milik M Farid, yang berada di Desa Spacar Kecamatan Tirto, Kabupetan Pekalongan untuk membikinkan kain batiknya.
Menjelang bulan Ramadhan ini saja, 'sanggan' yang dikerjakan 'Kelir Batik' bisa dihitung 3 kali lipat bila dibandingkan dari bulan-bulan sebelumnya. "Alhamdulilah, sekarang ini saja, sanggannya 3 kali lioat dari bulan sebelumnya," ucap M Farid, atau yang akrab disapa Bang Ayid kepada Radar, Selasa (15/7).
Datangnya pengusaha batik yang memberikan pekerjaan kepada dirinya, lanjut Bang Ayid, tidak hanya dari lokal saja. Melainkan juga dari luar Pekalongan, bahkan ada yang luar jawa. Padahal jasa membuatkan batik di home industri 'Kelir Batik' belum pernah dipublikasikan, atau diiklankan. "Iklannya mulut ke mulut. Mereka yang pernah memberikan pekerjaan kepada kami, biasanya menginformasikan kepada pengusaha yang lain. Jadi mereka datang sendiri ke kami."
Bang Ayid mengaku, yang sering dikerjakanya adalah membuat selendang batik dari bahan sutra, dan kain ATBM (Alat Tenun Bukan Mesin). Bila dibandingkan dengan home industri batik yang lain, selendang batik bikinan M Farid memiliki warna yang terang atau cerah. "Warna cerah inilah khas dari produk batik yang kami buat," terangnya.
Kendati lebih banyak menerima jasa dibuatkan selendang batik, di home industri 'Kelir Batik' juga membuka jasa pembuatan kain batik lainnya. Misalnya saja menerima jasa pembuatan kain batik untuk baju untuk hem maupun blus, serta yang lain.
Yang membedakan lagi, kalau di home industri 'Kelir Batik' mampu membuatkan kain batik untuk blus dengan motif mega mendung, sedangkan home industri batik yang lain belum tentu sanggup membuatnya. "Untuk pembuatan motif mega mendung, tidak semua produsen batik bisa," tambah Isteri Bang Ayid, Diana.
Saat ini, home industri 'Kelir Batik' yang dirintis Bang Ayid, dan Diana mampu menyerap 27 orang tenaga kerja. Tentunya meringankan beban pemerintah dalam menyiapkan lapangan pekerjaan. "Mungkin, jelang bulan Ramadhan ini, kami akan menambah pekerjaan karena tambahnya pekerjaan."
Diana mengaku tidak akan selamanya menjadi produsen batik. Jebolan Universitas Gajah Mada (UGM) itu berencana akan membuat produk batik sendiri, dan memasarkannya. Alasannya belum membikin batik sendiri dan memasarkannya, mengingat anak-anaknya masih kecil-kecil. Sehingga untuk sementara masih fokus pada usaha menerima jasa produksi batik. "Mungkin, kalau anak-anak sudah besar, kami punya waktu untuk memasarkan batik ke luar kota. Karena untuk memasarkan produk batik harus keluar kota biar harganya tidak jatuh," ucap Diana.
Diana menceritakan, kali pertama dirinya dan suami mendirikan home industri 'Kelir Batik', karena melihat banyak peralatan batik, seperti ender, dan cap yang ditelantarkan di rumah suaminya. "Mertua saya adalah pengrajin batik. Dulunya, beliau menekuni usaha batik, namun sekarang sudah berhenti," kenangnya.
Usaha mertuanya berhenti, lanjut Diana, karena krisis ekonomi pada tahun 1997. Waktu itu, tidak saja usaha bapak M Farid yang gulung tikar, melainkan home industri batik yang lain mengalami nasib yang serupa. "Maklum saja, usaha mertua saya itu termasuk usaha mikro. Jadi hanya pengusaha ataupun pengrajin batik yang memiliki modal kuat saja yang mampu bertahan."
Terpanggil untuk melestarikan batik, sekaligus untuk mencari sumber ekonomi bagi kehidupan keluarganya, lanjut Diana, dirinya bersama suami tercinta mendirikan usaha jasa produksi batik. "Alhamdulilah sampai sekarang lancar. Meski kami masih ngontrak rumah, namun berkah," pungkas Diana. (abdurrahman)

Rabu, 01 Juli 2009

Para Pedagang Batik Ngaku Omzetnya Capai Jutaan Rupiah


BISNIS eceran batik di Pasar Grosir Setono Pekalongan, hingga saat ini terus berkembang. Para perajin dan pedagang batik yang berjualan di pasar grosir mengaku, omzetnya mencapai jutaan rupiah.
Tingginya nilai transaksi penjualan batik tersebut menyebabkan penambahan kios bertambah. Bahkan, di sebelah barat telah dibangun toko batik.
Pengelola Grosir Setono, Drs Soni Hikmalul MSi mengatakan, omzet perdagangan batik di pasar grosir sangat tergantung pada hari-hari kegiatan besar masyarakat.
Pada bulan Ramadhan hingga pasca-Lebaran misalnya, biasanya omzet Rp 2 juta per hari diperoleh perajin atau pedagang. Bulan yang ramai lainnya adalah masa panen tembakau atau panen padi. "Musim hujan yang menyebabkan tanaman petani kebanjiran turut mengurangi omzet penjualan batik," ucapnya.
Soni Hikmalul mengemukakan, pasar grosir ini dipenuhi perajin maupun pedagang yang banyak menjual produk batik Pekalongan seperti busana wanita, baju, celana, perlengkapan aksesori rumah tangga seperti kain seprei, sarung bantal, dan sebagainya.
Konsep awal pasar grosir ini hanya untuk perdagangan produk batik, namun belakangan usaha konveksi mulai bergabung. Pasar Grosir Setono juga mulai ditiru swasta lain dengan membangun pasar serupa di lokasi lain.
“Sudah terdapat tujuh pasar grosir batik di Pekalongan dan sekitarnya. Pasar grosir terbesar adalah Pasar Setono, Gamer, Pantura, dan Bondansari," kata Soni Hikmalul.
kata Soni Hikmalul mengatakan, perdagangan batik di pasar grosir ini sudah melebar. Pembeli tidak hanya warga Jawa Tengah, tetapi juga sudah banyak pedagang besar dari berbagai provinsi. Pedagang dari mancanegara pun mulai melirik dan mencari pakaian batik dari Pekalongan. (dur)

Batik Pekalongan, Antara Masa Lampau dan Kini

BATIK Pekalongan sejak lama diekspor ke sejumlah negara, antara lain Singapura, Thailand, dan Amerika Serikat. Sedemikian terkenalnya batik dari Pekalongan, Jawa Tengah sehingga jenis batik ini tidak berhenti hanya menjadi hasil kegiatan ekonomi, tetapi juga telah menjadi ikon wisata.
Batik Pekalongan menjadi sangat khas karena bertopang sepenuhnya pada ratusan pengusaha kecil, bukan pada segelintir pengusaha bermodal besar. Sejak berpuluh tahun lampau hingga sekarang, sebagian besar proses produksi batik pekalongan dikerjakan di rumah-rumah.
Akibatnya, batik Pekalongan menyatu erat dengan kehidupan masyarakat Pekalongan yang kini terbagi dalam dua wilayah administratif, yakni Kota Pekalongan dan Kabupaten Pekalongan, Jawa Tengah. Batik pekalongan adalah napas kehidupan sehari-sehari warga Pekalongan. Ia menghidupi dan dihidupi warga Pekalongan.
Meskipun demikian, sama dengan usaha kecil dan menengah lainnya di Indonesia, usaha batik pekalongan kini tengah menghadapi masa transisi. Perkembangan dunia yang semakin kompleks dan munculnya negara pesaing baru, seperti Vietnam, Malaysia dan China menantang industri batik Pekalongan untuk segera mentransformasikan dirinya ke arah yang lebih modern.
Gagal melewati masa transisi ini, batik Pekalongan mungkin hanya akan dikenang generasi mendatang lewat buku sejarah.
Fathiyah A Kadir, seorang pengusaha batik di Kota Pekalongan, mengatakan, pada awal tahun 1970-an hampir seluruh pekerja di unit usaha batik pekalongan adalah petani. "Jadi, mereka tukang batik sekaligus petani," ujarnya.
Ketika itu, pola kerja tukang batik masih sangat dipengaruhi siklus pertanian. Saat berlangsung masa tanam atau masa panen padi, mereka sepenuhnya bekerja di sawah. Namun, di antara masa tanam dan masa panen, mereka bekerja sepenuhnya sebagai tukang batik.
"Suasana kerja sangat diwarnai semangat keguyuban, semangat kekeluargaan," ungkap perempuan pengusaha itu.
Pengrajin Batik Pekalongan lainnya, Khusnul Khotimah mengatakan, apa yang dihadapi industri batik pekalongan saat ini mungkin adalah sama dengan persoalan yang dihadapi industri lainnya di Indonesia, terutama yang berbasis pada pengusaha kecil dan menengah.
Persoalan itu, antara lain, berupa menurunnya daya saing yang ditunjukkan dengan harga jual produk yang lebih tinggi dibanding harga jual produk sejenis yang dihasilkan negara lain. Padahal, kualitas produk yang dihasikan negara pesaing lebih baik dibanding produk pengusaha Indonesia.
Penyebab persoalan ini bermacam-macam, mulai dari rendahnya produktivitas dan keterampilan pekerja, kurangnya inisiatif pengusaha untuk melakukan inovasi produk, hingga usangnya peralatan mesin pendukung proses produksi.
Kompetisi yang kian ketat mengondisikan usaha kecil menengah untuk memperbaiki kinerja, sekaligus memperbaiki kualitas produk yang mereka hasilkan. Paradigma lama kerap menuding tuntutan perbaikan kesejahteraan pekerja sebagai kambing hitam terjadinya pembengkakan produksi.
Paradigma ini mengabaikan kualitas pekerjaan yang baik atau kreativitas untuk menghasilkan inovasi produk keluar dari pekerja yang sejahtera dan pekerja yang melaksanakan tugasnya dengan tenang.
Untuk bertahan di tengah kompetisi yang semakin ketat, pengusaha batik pekalongan sudah seharusnya mengadopsi paradigma baru dalam mengelola usaha mereka. Sebagaimana tersirat pada pandangan yang disampaikan Totok.
"Kualitas produk sangat ditentukan oleh pekerja. Program yang menguntungkan pekerja, seperti Jamsostek, sangat membantu pemberdayaan pekerja," ujarnya.
Hanya bersandarkan pada keunggulan upah pekerja yang murah sudah harus ditinggalkan pengusaha Indonesia, termasuk pengusaha batik pekalongan. Bersandarkan pada keunggulan berupa keunikan produk tampaknya juga sudah harus ditinggalkan.
"Pesaing kita semakin berat. Bayangkan, saat saya berkunjung ke Bangkok, saya melihat ternyata Thailand kini juga mampu membuat batik yang jauh lebih bagus daripada yang kita hasilkan," ungkap Totok.
BAGI pengusaha batik pekalongan, memasuki tahun 2004 adalah memasuki masa yang penuh kesulitan. Permintaan batik pekalongan dari segala penjuru di Indonesia anjlok drastis. Berkodi-kodi batik menumpuk di tempat pengerjaan karena lesunya permintaan.
"Ketika krisis moneter tahun 1997, batik pekalongan terpukul akibat kenaikan harga kain mori. Namun, dampak kenaikan harga kain mori cukup bisa diimbangi dengan penjualan ekspor batik pekalongan yang menguntungkan karena anjloknya nilai tukar rupiah terhadap dollar AS. Kondisi ini berbeda dengan sekarang. Nilai tukar rupiah sudah relatif stabil, tetapi permintaan sangat lesu," kata Direktur Pasar Grosir Setono, Kota Pekalongan, Hasanuddin.
Sejumlah pedagang batik di pasar grosir menuding penyelenggaraan Pemilihan Umum (Pemilu) 2004 sebagai penyebab menurunnya omzet penjualan batik pekalongan hingga 50 persen. Argumennya, orang menunda perjalanan ke pekalongan karena menunggu hingga rampungnya kampanye Pemilu 2004.
Akan tetapi, bagi Hasanuddin, lesunya penjualan batik pekalongan terkait erat dengan penurunan daya beli masyarakat. Alasannya, jika penjualan batik pekalongan lesu hanya dikarenakan Pemilu 2004, tentu pesanan batik dari luar Pekalongan, seperti Makassar dan Surabaya, relatif tidak mengalami kelesuan karena orang tidak perlu melakukan perjalanan ke Pekalongan.
"Pengusaha batik yang dulu berorientasi menjual produknya ke luar kota sekarang beramai-ramai berjualan di Pekalongan. Ini ditandai dengan melonjaknya permintaan kios di pasar grosir," ujar Hasanuddin.
Akan tetapi, usaha itu tampaknya tetap tidak membantu. Bertumpuk-tumpuk batik tetap saja tak terjual di tempat produksi. Karena itu, dari sekitar 100 usaha batik di daerah Kelurahan Buaran, misalnya, sekitar 25 persen di antaranya sudah meliburkan pekerja. "Penjualan macet. Bagaimana mereka bisa melanjutkan produksi?" ungkap Hasanuddin.
Redupnya usaha batik pekalongan, menurut Hasanuddin, juga ditandai dengan kian banyaknya penyewa kios di Pasar Grosir Setono yang membayar ongkos sewa dengan cek kosong. Ini nyaris tidak pernah ditemui pada masa sebelumnya.
"Padahal, penyewa kios itu tergolong pengusaha besar dan nilai sewa yang harus dibayarkan cukup kecil, hanya Rp 1 juta-Rp 2 juta. Saya kira, dalam kondisi normal, tidak mungkin pengusaha yang tergolong cukup mapan melakukan hal tersebut," kata Hasanuddin lagi.
Akan tetapi, peka terhadap tuntutan pasar dan meresponsnya dalam bentuk inovasi dibuktikan pengusaha batik pekalongan, Rusdiyanto, yang berhasil menyelamatkan usahanya dari terpaan krisis. "Kalau saja saya tidak memulai memproduksi batik serat nanas tiga tahun lalu, usaha batik saya mungkin juga sudah meliburkan pekerja sekarang," kata pria yang tempat usahanya berada di Kelurahan Setono, Kota Pekalongan, tersebut.
Batik serat nanas yang diproduksi Rusdiyanto memang tidak terpengaruh oleh terpaan krisis. Harga kain batik pekalongan berserat nanas dengan ukuran panjang 2,56 meter dan lebar 1,15 meter bisa mencapai Rp 1,5 juta-Rp 3 juta. Karena itu, orang yang membeli jenis batik ini tentunya mereka dengan kondisi keuangan yang nyaris tidak terjamah gempuran krisis.
Bahkan, Rusdiyanto mengaku saat ini kesulitan untuk memenuhi order. "Batik serat nanas yang saya produksi tidak pernah menumpuk. Baru jadi, langsung dibawa pembeli ke Jakarta atau Singapura," ungkapnya.
Menurut Totok Parwoto, harga batik serat nanas di Jakarta naik berkali-kali lipat dibandingkan saat harganya masih di Pekalongan. "Kain batik serat nanas yang harganya di Pekalongan Rp 3 juta bisa mencapai Rp 7 juta di Jakarta," ungkapnya.
Batik serat nanas memiliki harga yang mahal karena suplai kain serat nanas masih sangat sedikit. Saat ini pengusaha batik serat nanas di Pekalongan hanya bergantung pada dua penyuplai kain serat nanas, yakni dari Kabupaten Pemalang dan dari Pabrik Radika di Pekalongan.
Sedikitnya produsen kain serat nanas disebabkan tingkat kesulitan yang cukup tinggi dalam proses pemintalan serat nanas menjadi benang, yang selanjutnya ditenun menjadi kain. Padahal, di Pemalang, terutama di Kecamatan Belik, tanaman nanas melimpah ruah.
Selain itu, harga kain batik serat nanas sangat mahal karena jenis batik ini dipadukan dengan serat sutra. Padahal, batik sutra sendiri sudah tergolong sebagai batik yang mahal. "Belum lagi pembuatan batik serat nanas dilakukan dengan tangan atau termasuk batik tulis. Satu bulan, satu pekerja saya hanya menghasilkan satu kain batik serat nanas," kata Rusdiyanto.
Inovasi yang dilakukan Rusdiyanto bukan hanya terbatas pada penggunaan serat nanas. Pengusaha batik ini juga melakukan inovasi pada motif batik. "Saya menggunakan motif batik pekalongan kuno," ujarnya.
Motif batik pekalongan kuno adalah motif yang dipakai saat pertama kali batik pekalongan muncul. Motif ini biasanya berbentuk tentara Belanda atau orang Belanda dengan segala atributnya. Bahkan, tidak jarang motif itu juga menggambarkan tank.
Warna yang digunakan Rusdiyanto juga warna saat batik pekalongan pertama kali muncul, yakni warna yang natural, seperti coklat atau merah bata. Berbeda dengan warna batik pekalongan sekarang, yang disebut orang dengan warna ngejreng. "Kain batik serat nanas dengan motif kuno dan warna alam ternyata sangat disukai pembeli dari luar negeri," katanya. (abdurrohman)

Dari Museum Batik ke RM Puas, Rombongan Terpuaskan


Media Radar Pekalongan dan Radar Tegal, Sabtu (27/6) menerima kunjungan tamu istimewa. Itu karena mendapat kunjungan mitranya dari Jakarta. Seperti apa?
LAPORAN : ABDURROHMANDari : Pekalongan
SEKIRA jam 02.00 WIB, mitra Radar Pekalongan dan Radar Tegal tiba di Kota Pekalongan. Rombongan tersebut lalu di jemput GM Radar Pekalongan Ade Asep Syarifuddin, Manager Iklan Rosikin, serta GM Radar Tegal M Sukron, Manager Iklan Arifin dan Wawan Setiawan dari bagian redaksi di Radar Tegal.
Dengan suasana penuh keakraban, baik rombongan dari Jakarta dan Radar Pekalongan dan Radar Tegal bertepuk sapa dan saling bergurau. Kemudian bermalam di Hotel Nirwana.
Paginya, rombongan diajak ke Museum Batik yang berada di Jalan Jetayu. Sesampai di museum batik yang diresmikan Presiden SBY, rombongan disambut pengelola museum. Dalam kesempatan itu, Mas Seno dan Mbak Ririn langsung terjun untuk menyambut.
Saat penyambutan, Mbak Ririn menyampaikan bila Museum Batik dulunya merupakan kantor peninggalan Belanda. Ditempat tersebut dijadikan sebagai kantor administrasi tebu.
Setelah merdeka, hak kepemilikannya diambil alih pemerintah. Lalu difungsikan sebagai kantor pemerintah, pernah digunakan Kantor Dinas Pendapatan Daerah (Dipenda) Kota Pekalongan.
Sebagai museum batik, kata Mbak Ririn, gedung Museum Batik menyimpan koleksi batik dari berbagai daerah se-Indonesia. Bahkan umurnya, ada yang sudah ratusan tahun."Misalnya batik dari Bengkulu, ini umurnya sudah seratus tahun," terangnya.
Dalam kesempatan itu, Mbak Ririn menunjukan satu-persatu batik dari daerah di Indonesia. Ia juga menunjukan adanya perbedaan batik dari daerah satu dengan daerah lainnya.
Usai mengunjungi Museum Batik. Perjalanan dilanjutkan ke Home Industri Tobal Batik, yang berada di jalan Teratai 24.
Ditempat usaha batik yang dikelola Hj Fatchiyah A.Kadir, rombongan diajak untuk melihat proses produksi batik, dari kain putih sampai menjadi fashion.
Satu-persatu Bu Fat-sapaan akrabnya, menunjukan tempat pengecapan, serta menunjukan cara mengecap atau membatik. Sampai akhirnya menunjukan tempat penjahitan.
Dijelaskannya olehnya, bila Batik merupakan kekayaan bangsa yang harus dipertahankan. Olah karena Pemkot Pekalongan, dengan didukung seluruh warganya mengajukan kepada UNESCO untuk menetapkan batik sebagai warisan budaya bangsa Indonesia."Alhamdulilah usaha kami berhasil, dan nanti penghargaan batik sebagai warisan budaya bangsa Indonesia akan diberikan," terangnya
Puas ditempat Showroom Tobal Batik. Rombongan mempir ke Pasar Grosir Setono, ditempat itu langsung memborong pakaian. "Wah murah-murah ya...," kata Icha, salah satu rombongan yang ikut ke Pekalongan.
Dalam kesempatan itu, ia banyak membeli pakaian, baik untuk dirinya sendiri, untuk oleh-oleh orang tuanya maupun untuk oleh-oleh kawannya di kantor."Kalau ini (baju batik,red) untuk saya sendiri guna aktivitas di kantor," ucapnya kepada Radar saat mendampinginya di Pasar Grosir Setono.
Capek di Pasar Grosir Setono, rombongan mampir di Rumah Makan Puas. Ditempat itu, rombongan menikmati nasi kebuli, sate, nasi megono. "Wah enaknya. Tambah satu porsi lagi dong Mbak," ucap Arifin dan Wawan Setiawan, rombongan dari Radar Tegal.
Usai menikmati hidangan, rombongan langsung puas. Karena sangat menikmati kunjungan di Kota Pekalongan. (*)

Dari Kunjungan Mitra Radar Pekalongan dan Radar Tegal dari Jakarta di Kota Pekalongan.

Media Radar Pekalongan dan Radar Tegal, Sabtu (27/6) menerima kunjungan tamu istimewa. Itu karena mendapat kunjungan mitranya dari Jakarta. Seperti apa?
LAPORAN : ABDURROHMANDari : Pekalongan
SEKIRA jam 02.00 WIB, mitra Radar Pekalongan dan Radar Tegal tiba di Kota Pekalongan. Rombongan tersebut lalu di jemput GM Radar Pekalongan Ade Asep Syarifuddin, Manager Iklan Rosikin, serta GM Radar Tegal M Sukron, Manager Iklan Arifin dan Wawan Setiawan dari bagian redaksi di Radar Tegal.
Dengan suasana penuh keakraban, baik rombongan dari Jakarta dan Radar Pekalongan dan Radar Tegal bertepuk sapa dan saling bergurau. Kemudian bermalam di Hotel Nirwana.
Paginya, rombongan diajak ke Museum Batik yang berada di Jalan Jetayu. Sesampai di museum batik yang diresmikan Presiden SBY, rombongan disambut pengelola museum. Dalam kesempatan itu, Mas Seno dan Mbak Ririn langsung terjun untuk menyambut.
Saat penyambutan, Mbak Ririn menyampaikan bila Museum Batik dulunya merupakan kantor peninggalan Belanda. Ditempat tersebut dijadikan sebagai kantor administrasi tebu.
Setelah merdeka, hak kepemilikannya diambil alih pemerintah. Lalu difungsikan sebagai kantor pemerintah, pernah digunakan Kantor Dinas Pendapatan Daerah (Dipenda) Kota Pekalongan.
Sebagai museum batik, kata Mbak Ririn, gedung Museum Batik menyimpan koleksi batik dari berbagai daerah se-Indonesia. Bahkan umurnya, ada yang sudah ratusan tahun."Misalnya batik dari Bengkulu, ini umurnya sudah seratus tahun," terangnya.
Dalam kesempatan itu, Mbak Ririn menunjukan satu-persatu batik dari daerah di Indonesia. Ia juga menunjukan adanya perbedaan batik dari daerah satu dengan daerah lainnya.
Usai mengunjungi Museum Batik. Perjalanan dilanjutkan ke Home Industri Tobal Batik, yang berada di jalan Teratai 24.
Ditempat usaha batik yang dikelola Hj Fatchiyah A.Kadir, rombongan diajak untuk melihat proses produksi batik, dari kain putih sampai menjadi fashion.
Satu-persatu Bu Fat-sapaan akrabnya, menunjukan tempat pengecapan, serta menunjukan cara mengecap atau membatik. Sampai akhirnya menunjukan tempat penjahitan.
Dijelaskannya olehnya, bila Batik merupakan kekayaan bangsa yang harus dipertahankan. Olah karena Pemkot Pekalongan, dengan didukung seluruh warganya mengajukan kepada UNESCO untuk menetapkan batik sebagai warisan budaya bangsa Indonesia."Alhamdulilah usaha kami berhasil, dan nanti penghargaan batik sebagai warisan budaya bangsa Indonesia akan diberikan," terangnya
Puas ditempat Showroom Tobal Batik. Rombongan mempir ke Pasar Grosir Setono, ditempat itu langsung memborong pakaian. "Wah murah-murah ya...," kata Icha, salah satu rombongan yang ikut ke Pekalongan.
Dalam kesempatan itu, ia banyak membeli pakaian, baik untuk dirinya sendiri, untuk oleh-oleh orang tuanya maupun untuk oleh-oleh kawannya di kantor."Kalau ini (baju batik,red) untuk saya sendiri guna aktivitas di kantor," ucapnya kepada Radar saat mendampinginya di Pasar Grosir Setono.
Capek di Pasar Grosir Setono, rombongan mampir di Rumah Makan Puas. Ditempat itu, rombongan menikmati nasi kebuli, sate, nasi megono. "Wah enaknya. Tambah satu porsi lagi dong Mbak," ucap Arifin dan Wawan Setiawan, rombongan dari Radar Tegal.
Usai menikmati hidangan, rombongan langsung puas. Karena sangat menikmati kunjungan di Kota Pekalongan. (*)